Atieq SS Listyowati

atieq.sslistyowati@yahoo.com

Monday, March 19, 2007

Bird Migration [& Talk: What is Performance Art?] - BBJ


http://atieq.blogspot.com/
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/08/humaniora/2711995.htm
http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/12/bud04.htm
http://www.tempointeraktif.com/hg/budaya/2006/06/06/brk,20060606-78489,id.html
http://www.utankayu.org/in/index.cfm?action=detail&cat=event&id=34

Poems & Photos :
http://metro-paris-atieq-poems.blogspot.com/
Posted by AppreRoom at 7:44 AM

No comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Translate

Performance Art - News & Info

  • http://appreroom-artspace.blogspot.com
  • http://arthistory.about.com/cs/arthistory10one/a/performance.htm
  • http://observeperformanceart.blogspot.com/
  • http://performanceartnewsinfo.blogspot.com/2008/05/history-of-performance-art.html
  • http://www.huffingtonpost.com/andre-von-ah/performance-art-history_b_2029450.html
  • http://www.theartstory.org/movement-performance-art.htm
  • https://www.khanacademy.org/humanities/global-culture/conceptual-performance/a/performance-art-an-introduction

Sejarah Performance Art

Sejarah Performance Art
Book Publishing: History of Performance Art - An Introduction

'_'

'_'

About Atieq SS Listyowati

Atieq SS Listyowati [lahir dan tumbuh di Surabaya, 10 September 1964] adalah seorang pecinta seni & praktisi dengan beberapa pengalaman dalam jurnalisme terutama dalam ruang seni. Ia mengelola dan menyelenggarakan beberapa acara kesenian baik fotografi, lukisan & patung pameran, tari, teater, seni visual dan pertunjukan sekaligus artis dan pendiri AppreRoom [non-formal & lembaga non-profit sejak tahun 1998] serta merancang [organiser] program pelatihan jurnalis seni dan lain-lain. Hal ini sehubungan dengan profesinya sebagai jurnalis tulis, radio dan foto, yang telah dimulainya semenjak di masa kuliahnya di Bandung [1980an]. Tahun 2005-2006 ia mendapat grant dari Arts Network Asia [ANA] untuk melakukan observasi sejarah seni performa [performance art] dan manajemennya di Indonesia, Malaysia dan Singapura yang merupakan bagian dari awal pembelajaran & pemahamannya dalam performance art sebagai genre. Ia tertarik pada seni performa yang dianggapnya seperti perjalanan jiwa masing-masing senimannya dalam memahami hidupnya. Performance art juga seperti migrasi burung yang terbang jauh sepanjang waktu, yang tidak dapat dihentikan dan membuat beberapa kreasi & asimilasi di setiap tempat, termasuk bentuk-bentuk baru dan perspektif lain. Pada tahun yang sama [2006] ia menyelenggarakan berbagai kegiatan seni performa di Indonesia, misalnya: Bird Migration [Apa itu Performance Art?] di Bentara Budaya Jakarta dan IIPAE2006: Birds Migration di Galeri Nasional Indonesia. Pada tahun 2007 KHOJ Studio mengundangnya untuk residensi selama 6 minggu di New Delhi serta melakukan performance. Lawatan ini berlanjut hingga 2 bulan berkat dukungan KBRI New Delhi pada waktu itu. Ia kemudian sempat mendapat undangan memberikan workshop dan performance di Departemen Seni Lukis - Visva Bharati di Santiniketan, Bengali Barat. Pada tahun 2007 ia menyelenggarakan ASEAN/Aksi: Occupying Space di Galeri Nasional Indonesia-Jakarta dan Lombok. Tahun 2008, ia mendapat undangan dari NIPAF untuk melakukan pertunjukan di 4 kota [Tokyo-Kawaguchi/Saitama-Moriya/Ibaraki-Nagano] di Jepang. Pada tahun yang sama ia melakukan beberapa tampilan di Indonesia, misalnya : undisclosed territory # 3 di Padepokan Lemah Putih Solo dan residensi artis di Jatiwangi Art Factory, juga di Studio Rosid di Bandung serta di Eloprogo Art, desa Bejen-Borobudur sebelum melakukan kerjasama dengan 7 perempuan artis beberapa negara[penari, seniman visual, skulpturis, pelukis, dalang & performance artist] internasional dalam projek Kemana Pun di LIP [Lembaga Indonesia Perancis], Yogyakarta. Pada tahun 2009 ia menyelenggarakan A Face of Nations acara seni performa internasional di CCCL [Pusat Kebudayaan Perancis/fasilitator], Surabaya. Tahun 2010 ia menyelenggarakan “Ohayyoo!..” Apresiasi Kata, Performa & Makna, sebuah kolaborasi antara seni performa dan wayang beber di Newseum yang difasilitasi oleh program Jak-Japan Matsuri, 27-29 September 2010. Pada pertengahan Oktober sebuah acara yang sama digelarnya yakni berupa seni puisi-performa Festival Kata dalam Performa di Bentara Budaya Jakarta [fasilitator]. 2011 kembali berpartisipasi dalam performance di Bentara Budaya Jakarta yang mengantarnya pada acara performance art bertajuk Sono Lumiere di Institut Francais Indonesia, Bandung di tahun 2012. Semenjak itu ia masih menyukai inspirasi yang diambilnya dari tampilan Atsuko Tanaka dari kelompok Gutai Jepang di tahun 60an, yakni dengan menggunakan kostum lampu. Tahun berikutnya 2013 setelah performance bersama (kolaborasi) wayang beber dan sound art di Bentara Budaya Jakarta, Atieq mendapatkan undangan untuk tampil di Swedia (Umea) dan sekaligus melakukan observasi kegiatan sebuah kelompok performance art (PAiN) di beberapa kota Norrbotten (Swedia Utara). Kesempatan sebulan ini digunakannya untuk juga melawat ke Helsinki, Finlandia dan juga Stockholm guna menghadiri seminar tentang performance dan event-event internasional di genre performance art yang tengah berlangsung setiap hari di berbagai institusi dan organiser. Tahun 2014 ia masih menyukai performance yang sama dengan kostum lampu yang dipadu dengan sistem decoding dari cahaya menjadi suara melalui kolaborasi dengan sound artist.
Atieq sangat peduli dengan
ruang seni sebagai salah satu medium untuk bereksplorasi yang tak pernah berakhir di era apa pun selama peradaban manusia masih ada, karena seni membawa sejarah keberadaan
manusia.
Lihat
http://appreroom-artspace.blogspot.com
dan http://sslistyowati.blogspot.com


Atieq SS Listyowati [born and grew up in Surabaya, 10 September 1964] is an art lover and practitioners with some experience in journalism, especially in the art room. She managed and organized several art events both photography, painting and sculpture exhibitions, dance, theater, visual and performing arts as well as artist and founder AppreRoom [non-formal & non-profit institutions since 1998] and to design [the organizer] art journalist training programs and others. This is in connection with the profession as a journalist writing, radio and photo, which has begun since the period of studies at Bandung [1980]. In 2005-2006 she got a grant from the Arts Network Asia [ANA] to observe the history of performance art [performance art] and its management in Indonesia, Malaysia and Singapore which are part of the beginning of her learning & understanding in performance art as a genre. She is interested in performance art that seemed like the way the soul of each artist in understanding her life. Performance art as well as migratory birds that fly away all the time, which can not be stopped and make some creations & assimilation in every place, including new forms and other perspectives. In the same year [2006] she held a variety of performing arts activities in Indonesia, for example: Bird Migration [What is Performance Art?] at Bentara Budaya Jakarta and IIPAE2006: Birds Migration at the National Gallery of Indonesia. In 2007 KHOJ Studio invited for a residency for 6 weeks in New Delhi as well as doing performances. This tour continues up to 2 months thanks to the support of the Indonesian Embassy in New Delhi at that time. She then had received invitations to give workshops and performances at the Department of Paintings - Visva Bharati at Santiniketan, West Bengal. In 2007 she organized the ASEAN / Action: Occupying Space in the National Gallery of Indonesia-Jakarta and Lombok. In 2008, she received an invitation from NIPAF to perform shows in 4 cities [Tokyo-Kawaguchi/Saitama-Moriya/Ibaraki-Nagano] in Japan. In the same year she made some appearance in Indonesia, for example: undisclosed territory#2 in Padepokan Lemah Putih Solo and artist residencies in Jatiwangi Art Factory, also in Studio Rosid in Bandung and in Eloprogo Art, Bejen village-Borobudur in cooperating with 7 female artist several countries [of dancers, visual artists, sculpturist, painter, puppeteer and performance artist] Kemana Pun international projects in LIP [Indonesian Institute of France], Yogyakarta. In 2009 she organized A Face of Nations international performance art event at CCCL [French Cultural Center / facilitator], Surabaya. This year he held a "Ohayyoo! .." Words Appreciation, Performance and Meaning, a collaboration between performance art and wayang beber at the Newseum, facilitated by the program Jak-Japan Matsuri, September 27 to 29. In mid-October a similar event that is a main form of poetry, performance art festival in Bentara Budaya Jakarta [facilitators]. Atieq very concerned with the art space as a medium to explore the never-ending in any era as long as human civilization still exists, because art brings the history of human existence.
See
http://appreroom-artspace.blogspot.com and http://sslistyowati.blogspot.com

About AppreRoom

My photo
AppreRoom
The AppreRoom has its activities in the field of art space and acts as one and at the same time as a cultural link --connecting people--, which has its center in Indonesia. See http://appreroom-artspace.blogspot.com
View my complete profile

My Own Link

· http://sslistyowati.blogspot.com

· http://appreroom-artspace.blogspot.com/

· http://festivalkataperforma-bbj.blogspot.com/

· http://ohayyoo-appreroom.blogspot.com/

· http://pestaseniperforma2009-cccl.blogspot.com/

· http://x-change2008-appreroom.blogspot.com/

· http://dewisriestate-jaf2008.blogspot.com

· http://kemanapun.blogspot.com/

· http://history-of-performance-art.html

· http://atieq-nipaf08.blogspot.com/

· http://sublime-khoj-india.blogspot.com/

· http://asean-aksi2007.blogspot.com/

· http://performanceartnewsinfo.blogspot.com

· http://iipae2006.blogspot.com/

· http://iipae2006participants.blogspot.com/

· http://metro-paris-atieq-poems.blogspot.com/

Video Link

· http://dewi sri estate by atieq ss listyowati in jaf2008

· http://kemana pun by 7 artists LIP yogyakarta/video

· http://sublime.khoj india.2007

· http://bird migration by atieq BBJ 2006/video

My Art Works

A FACE OF NATIONS

DEWI SRI ESTATE

KEMANA PUN...

LEBUR:) AKIN & AMITY

IQRA'!

ASSOCIATION

TAKE & GIVE

JAPAN 2008

atieq-nipaf08

METRO-PURITAN

ART IS NOT FOR IDIOT PEOPLE

I GIVE MY HEART 2 U

ESCAPIST

"Apa Khabar Seni Performa Hari Ini?"

VISVA BHARATI - SANTINIKETAN, WEST BENGAL - INDIA

International Performance Artist Residency in Khoj Studio, New Delhi - India

Blog Archive

  • ▼  2007 (9)
    • ▼  March (7)
      • ▼  Mar 19 (7)
        • S S Listyowati [Atieq]
        • "Take A Picture of Me, Please", Singapore AIM Fest...
        • trans • heart • inner • section
        • appreciation room, since 1999
        • Observation in Performance Art
        • Bird Migration [& Talk: What is Performance Art?] ...
        • SUBLIME - International Performance Artist Residen...
    • ►  July (1)
      • ►  Jul 19 (1)
    • ►  August (1)
      • ►  Aug 20 (1)
  • ►  2008 (7)
    • ►  February (1)
      • ►  Feb 15 (1)
    • ►  July (5)
      • ►  Jul 17 (4)
      • ►  Jul 26 (1)
    • ►  August (1)
      • ►  Aug 07 (1)
  • ►  2009 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 14 (1)
  • ►  2011 (2)
    • ►  January (1)
      • ►  Jan 17 (1)
    • ►  October (1)
      • ►  Oct 19 (1)
  • ►  2012 (1)
    • ►  February (1)
      • ►  Feb 23 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  February (4)
      • ►  Feb 05 (1)
      • ►  Feb 06 (3)
    • ►  November (1)
      • ►  Nov 06 (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  November (5)
      • ►  Nov 29 (5)
    • ►  December (1)
      • ►  Dec 08 (1)

*

*

Sekilas Info: Performance Art (di) Indonesia

Di Indonesia, performance art belum menjadi wacana publik. Bahkan belum ada studi khusus yang benar-benar memberikan materi yang sesuai dengan keberadaan genre ini. Namun kehadirannya (berlabel ‘performance art’) cukup sporadis di beberapa wilayah yang tersebar di 34 provinsi di negara kepulauan multi etnis ini, tak hanya di ibukota dan di pulau Jawa. Mengikuti sejarah performance art di Barat sebelum kelahirannya hingga kemunculan term ‘performance art’ atau ‘live art’ atau ‘action art’, spiritnya diawali dari konsep avant garde di ruang-ruang pentas (Ubu Roy; Cabaret Simplicismus; Bauhaus) dan berupa pertunjukan (performing) kemudian disadari bahwa segala hal yang ditampilkan telah lebur dan berpindah menjadi karya rupa (parole et liberta; Futurism), keberadaannya di Indonesia pun dalam koridor seni rupa, karena pelakunya didominasi oleh para perupa.

Maka pengamatan ini saya awali melalui sejarah seni rupa Indonesia ketika mulai terpengaruh oleh kancah seni rupa dari Barat semenjak masa pelukis Raden Saleh (1808-1880). Pelukis ini terkenal dengan berbagai aksinya dalam mengecoh berbagai pihak melalui karya lukisnya (ia pernah melukis bentuk kotoran manusia di atas sprei tempat tidurnya setelah diminta pergi karena tidak bisa membayar uang sewa rumah,). Konsep ‘jiwa kéthok’ melalui lukisan-lukisan Sindutomo Sudjojono di era ’30-‘40an adalah kejutan berikutnya di bidang kesenian di Indonesia. Affandi telah melakukan aksi nudis di tiap kali proses melukisnya (‘50an). Kemudian setelah melalui masa komunisme (1960an), Gerakan Seni Rupa Baru di Yogyakarta tahun ’70-an muncul dan segera bubar karena ditutup polisi, dilanjutkan oleh kelompok PIPA (Kepribadian Apa) yang mulai bergerak melalui aksi-aksi dalam publik hingga para mahasiswa seni turun ke jalanan (Culture Shock, 1980) dan menggelar pameran seni rupa di sawah (1981). Di Bandung (1980) muncul Kelompok Sumber Waras yang lahir ketika mata kuliah Eksperimen Kreatif hadir di jurusan seni murni di Institute of Technology in Bandung (ITB). Mata kuliah ini menyodorkan peluang bagi para mahasiswanya bereksplorasi di bidang artistik dan estetika, baik pada bentuk, ruang dan gerak serta interaksi terhadap publik. Penyelusuran atas gerakan penyimpangan konsepsi dalam kreasi ini akhirnya sampai pada sinyalemen yang menyebutkan kehadiran bentuk seni (dalam bingkai performance art, bukan term) yang orisinal lahir di negara ini dan dari artisnya sendiri yang lebih dianggap sebagai deviasi dalam seni. Hal ini sejalan dengan munculnya genre ini sebagai gerakan anti-art.

‘Jeprut’ (Sundanese: ‘putus akal’) adalah salah satu bentuk aksi sebagai respon atau reaksi spontan seseorang atau seniman dalam menyuarakan kata hatinya melalui ulah tertentu. Bentuk ini telah eksis di Jawa Barat. Di sekitar tahun ‘80an para mahasiswa di institusi pendidikan seni rupa di Bandung acapkali berkreasi dan melakukan gerakan-gerakan baru semacam hal tersebut yang mereka sebut ‘blah-blah-war’, ‘bus-bas-bos’, ‘péréngkél jahe’ dan sebagainya. Istilah ‘performance art’ baru dikenal publik melalui media massa nasional menjelang tahun 2002 hingga peristiwa Jakarta International Performance Art Festival yang mengundang reaksi kontroversial. Bandung sempat menjadi head office IAPAO (International Association for Performance Art Organisers) untuk Asia yang berpusat di Helsinky, Finlandia. The 2nd IAPAO Meeting + International Performance Art Festival dilaksanakan di Bandung (2004). Tahun 2006 saya sendiri menyelenggarakan IIPAE (Indonesia International Performance Art Event) bertajuk “Birds Migration” diikuti sekitar 70 peserta dari berbagai negara.

Wacana tubuh sebagai medium atau sarana dalam menginterpretasikan konsep sang seniman bukan hal baru di Indonesia. Segala bentuk kesenian di negeri ini sejak jaman Nusantara awalnya adalah berupa bagian dari ritual agama. Tubuh diyakini sebagai representasi berbagai aspek kehidupan dan alam semesta. Bentuk-bentuk penampilan seperti yang dilakukan Joseph Beuys, Chris Burden, Marina Abramovich dengan menyakiti tubuh mereka sendiri dalam konteks tubuh adalah politik. Proses menyakiti tubuh juga telah dilakukan dalam ritual agama Hindu Bali, serta para bissu dalam kepercayaan animism-dinamism di Sulawesi Selatan, atau juga dalam kesenian ‘debus’ dalam masyarakat Banten di Jawa Barat, demikian pula dalam kesenian ‘jaran kepang’ di Jawa dan upacara ‘tatung’ di Singkawang, Kalimantan Barat yang mirip ‘thaipoosam’ dalam masyarakat India. Konsep utamanya adalah sebagai proses pencapaian tertinggi dalam hubungan transendental secara spiritual (semacam ekstasi), sebagai upaya pencarian solusi atas masalah yang dihadapi baik pribadi mau pun komunal, misalnya dalam hal panen, bencana alam atau pun untuk mencapai keinginan tertentu (status, kesejahteraan, kesehatan, dan sebagainya).

Tentu saja hal ini masih perlu dicermati secara obyektif, apakah definisi orisinal yang dimaksud adalah sama dan merupakan karya asli yang tidak dipengaruhi idiom atau pun bentuk-bentuk seni dari Barat, ataukah sebagai karya modifikasi dan interpretasi baru terhadap bentuk performance art dari Barat? Atau bahkan sebaliknya, bentuk-bentuk performance dari timur menjadi sumber inspirasi bagi Barat. Atau mungkin pula merupakan kebetulan kesamaan berpikir manusia dalam menghadapi berbagai aspek kehidupan sejak dahulu kala hingga kini, meski berbeda tampilan namun memiliki kesamaan konsep. Itulah sebabnya penampilannya sama-sama berfokus pada konsep, yakni tampilan yang mengajak penonton untuk ‘read beyond the text’ --karena sifatnya provokatif, ekstrim, banal dan anarkhi--, sebagaimana disebut sebagai seni konseptual. Benang merah kesamaan yang ada antara sejarah seni rupa Indonesia dan Barat adalah pengaruh kondisi politik yang terjadi. Kondisi ini memiliki efek pantul kuat bertubi-tubi dan mengenai berbagai masalah sosial, ekonomi dan sebagainya serta seterusnya. Selain itu, kebetulan atau tidak, seni rupa di Indonesia merupakan medan terbuka yang terlebih dahulu mendapat pengaruh idiom genre dari Barat, di samping seni sastra. Peningkatan kualitas dan kuantitas penyelenggaraan pertemuan internasional bersama para pakar dan senior di bidang ini akan menjadi cara tepat sebagai solusi menuju pemahaman dan pengembangan genre ini dengan standart yang lebih baik.

[Atieq S S Listyowati]

______________________Performance Art Indonesia___________________

Pengantar

Istilah ‘performance art’
Menurut saya berdasar pada beberapa ensiklopedia seni dari Eropa dan Amerika, performance art tidak masuk dalam kategori performing art --yang mengandalkan susunan kreasi berdasarkan plot, dramaturgi, ritme, dan berbagai tehnik teatrikal lainnya, seperti opera, tari, paduan suara, konser dan lain sebagainya--, meski pun kehadirannya menyertakan materi tersebut sebagai bahan atau elemen pendukung, bukan sebuah ‘barang jadi’.

[Kata ‘
performance’ bermakna ‘pertunjukan’; ‘perbuatan’; ‘hasil’; ‘pelaksanaan’; ‘penyelenggaraan’; ‘pergelaran’, demikian dalam kamus besar bahasa Indonesia, sedangkan menurut kamus bahasa Inggris berarti: the act or manner of exhibiting an art, skill, or capacity; an action, deed, or thing done, the act of performing or condition of being performed]

Performance art lebih merupakan sebuah karya reduksi dari berbagai hal (bentuk, faham, filosofi, teori, pemikiran) yang telah mapan. Ia banyak memecah dan mendobrak benteng-benteng dan puri aristokrasi paradigma lama hingga seringkali dicap sebagai karya anomali. Padahal semua karya manusia tak pernah lepas dari semiotika.
Berbeda dengan
performance art, konsep dalam performing art adalah konsep yang tertata apik, tidak lagi melalui atau pun melahirkan ruang konseptual baru. Performing art berada dalam bidang yang sama sekali lain dengan performance art, karena produknya lebih artifisial dan welldone. [Performing adalah sebuah kata sifat yang berarti: ‘mempertunjukkan’. Performing art = seni mempertunjukkan, demikian menurut kamus terjemahan Inggris-Indonesia, namun hingga kini terjemahannya adalah ‘seni pertunjukan’. Terjemahan ini sudah selayaknya dikaji ulang agar tidak terjadi salah paham yang berkelanjutan.]

Catatan, selama masa pengamatan/riset awal berlangsung (setahun/sebelum penulisan laporan), penulis tidak menggunakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, karena ada kemungkinan bahwa pemaknaan istilahnya selama ini rancu.
Penulis dalam tulisan ini hanya menceritakan rangkuman garis besar sejarah berdasarkan data yang ada.

Sejarah performance art meliputi data yang sangat luas hingga ke detil-detilnya, karena satu dan lainnya saling berkaitan dengan berbagai aspek dan situasi yang menyelimutinya di tiap titik. Kumpulan data yang sangat luas ini melahirkan berbagai persepsi dan interpretasi yang beraneka, termasuk persepsi dan interpretasi penulis. Setelah melakukan berbagai observasi baik langsung mau pun studi pustaka, penulis membatasi istilah performance dan performance art untuk masing-masing kasus.

Performance digunakan untuk setiap kasus penampilan (menampilkan aksi atau objek, atau ‘ulah sebuah obyek sebagai subyek’), yang bisa berarti performance (performa) seorang atlet, pembalap atau binaragawan, produk obat, iklan dan sebagainya.
Menurut penulis,
performance art lebih merujuk pada ‘seni penampilan’. Ini lebih konseptual karena menyandang kata ‘seni’ atau ‘art’ sebagai beban makna tersendiri selain kata 'performance’. ‘Seni’ sebagai institusi tersendiri --kata pertama-- yang menerangkan ‘penampilan’ –kata ke dua-- (yaitu kata benda yang berarti: ‘proses’; ‘cara’; ‘perbuatan’ menampilkan –bertalian dengan prefiks verbal me-) konsep si penampil, bukan sekedar performer/ pelaku dalam performance, tapi ‘performance artist’. Hal ini karena setiap performance belum tentu berbobot seni (misalnya: ‘performance bapak direktur tadi sangat hebat’, atau ‘performance kecepatan mobil itu sungguh prima’).

Pembatasan ini perlu saya lakukan karena seringkali terjadi bias dan penyederhanaan makna konseptual. Performance art berpangkal dari pemahaman anti-estetika, yang berarti sangat menolak ‘jauh-jauh’ dan lepas dari segala kaidah seni (anti Art). Hal ini berarti berbagai unsur artifisial macam tari, teater, musik, sastra dan dramaturginya sama sekali tidak menjadi utama dalam setiap penampilan para performance artist. Keindahan performance art adalah pada konsep semata.

Itulah hal yang menjadikan alasan mengapa kata ’art’ perlu ditambahkan. Penggunaan kata art atau ’seni’ di sini menjadi sangat penting, karena menerangkan ‘performance’ yang sebetulnya sangat memporakporandakan pengertian ‘pertunjukan’ secara konvensional. Meski performance art dapat saja mengikutsertakan unsur tari, musik, nyanyi dan sebagainya, namun tetap bukan merupakan ‘seni pertunjukan’, karena bukan tarian atau musiknya yang menjadi obyeknya.
Atas dasar pemikiran tersebut pula, penulis tidak menggunakan terjemahan ‘
performance’ sebagai ‘pertunjukan’. Berdasar pada sejarah dan realitas yang saya dapat, lebih mudah bagi penulis untuk me’reduksi’ terjemahan kata ‘performance’ sebagai ‘penampilan’, bukan ‘pertunjukan’ (bertalian dengan prefiks verbal ber-). Apalagi kata dasar ‘tunjuk’ bersinonim dengan kata ‘tuding’ atau ‘mengacungkan jari telunjuk’. Kata ini berasosiasi ‘obyek’ semata. Sementara kata ‘tampil’ di sini (menurut kamus) bermakna ‘melangkah maju’ (ke muka, ke depan); muncul; menampakkan diri. Selain itu ‘menampilkan’ berarti ‘mengemukakan’ atau ‘membawa ke muka’. Terjemahan ini lebih menguatkan ‘performa’ sang penampil (performer) selaku ‘subyek’, ketimbang sekedar ‘tontonan’. Maka, menurut saya, terjemahan lain dari performance art selain ‘seni penampilan’ adalah ‘seni performa’.

Ilustrasi


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKYlUq_F2S9SiUkwqNQNFJ8U5zeeqSY1wcp-xQ_V0kL2TGyVjIbyscJsZiatKuzE_AFJJRHSiCSGLzRj9dreLZ8BFWRcgausRgUskV-iPhVQtalOMYhfnNEL2SIncEC8hv43fz1AVnOHGm/s400/img040.jpg


Awal Mula Performance Art di Indonesia
Di Indonesia, performance art belum menjadi wacana publik, pun publik seni. Namun kehadirannya cukup sporadis. Meski di Barat sebelum kelahirannya diawali dari ruang-ruang pentas dan berupa pertunjukan (performing) kemudian oleh para perupa, kelahirannya di Indonesia – demikian yang berhasil terdata pada observasi saya selama ini-- justru berada dalam koridor seni rupa saja, pelakunya didominasi oleh para perupa.
Maka tulisan ini lebih mengacu pada sejarah seni rupa Indonesia saat mulai terpengaruh oleh kancah seni rupa dari Barat. Sementara, sejarah seni rupa yang hadir kuat hingga saat ini memang masih merupakan dominasi pengaruh Barat, termasuk penyelusuran asal muasal performance art ini. Bersama dengan itu, muncul pula sinyalemen yang menyebutkan kehadiran bentuk seni (dalam bingkai performance art) yang orisinal lahir di negara ini dan dari artisnya sendiri. Tentu saja hal ini masih perlu dicermati secara obyektif, apakah definisi orisinal yang dimaksud merupakan karya asli yang tidak dipengaruhi idiom atau pun bentuk-bentuk seni dari Barat, ataukah merupakan karya modifikasi dan interpretasi baru terhadap bentuk performance art dari Barat?
Namun, benang merah kesamaan yang ada antara sejarah seni rupa Indonesia dan Barat adalah pengaruh kondisi politik yang terjadi. Kondisi ini memiliki efek pantul kuat bertubi-tubi dan mengenai berbagai masalah sosial, ekonomi dan sebagainya serta seterusnya. Selain itu, kebetulan atau tidak, seni rupa di Indonesia merupakan medan terbuka yang terlebih dahulu mendapat pengaruh idiom genre dari Barat, di samping seni sastra.

Sekilas Sejarah Seni Rupa Indonesia
Semenjak Raden Saleh Syarif Bustaman (atau Sayid Saleh bin Husin bin Yahya, 1808-1880) banyak mendapat pengaruh tehnik, corak dan gaya dari benua Eropa di masa Romantisme hingga kepeloporannya bagi masyarakat Indonesia di jalur modernisme (1860, semenjak Edward Manet mengagetkan publik dengan karya lukisnya berjudul Le Dejeuner sur l’Herbe yang menggambarkan acara piknik makan siang di sebuah taman dengan beberapa perempuan nudis) dengan pulasan realis pada karya-karya lukisnya, tak lagi sekadar naturalis romantis, hingga masa Mooi Indie (kembali naturalis). Masa Mooi Indie dipatahkan oleh S. Sudjojono melalui konsep jiwa kéthok-nya yang juga mengkritik habis karya-karya Affandi, Hendra Gunawan, Basuki Abdullah (1930an). Karya para pelukis yang dianggap ‘maestro’ oleh para pelaku penyebar (baca: penuntun) wacana di berbagai media massa/ publikasi lokal saat itu –yang juga masih dipercaya hingga kini-- dianggap sangat menjauhkan diri dari ‘jati diri’ Indonesia. S (Sindutomo) Sudjojono mengatakan bahwa seni yang mampu mewakili jamannya adalah yang mampu menyatakan realita yang sesungguhnya, bukan sekedar realita alam nan indah. Pelukis realisme ini bermaksud mengajak bergerak menuju kemerdekaan nasional Indonesia melalui praktek seni. Di masa kolonial Belanda, kelahiran Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia, 28 Oktober 1938) dan aktivitas pamerannya di tahun 1941 di gedung Kunstkring, Batavia (sekarang Jakarta) semakin meraut ujung bambu runcing ‘kebangsaan’ para pelukisnya akibat diskursus wacana berupa ulasan kritik pengamat lukisan dari Belanda (J. Hopman) yang menyatakan bahwa orang Indonesia di Jawa bisa melukis akibat keberadaan pelukis Eropa macam Chagal dan sebagainya. Anggapan ini ditampik Sudjojono dalam tulisannya yang berjudul “Kami Tahu ke Mana Seni Lukis Indonesia akan Kami Bawa”.
Tanggal 1 Agustus 1947, resmi didirikan Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar (kini Fakultas Seni Rupa ITB), ditempatkan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Tehnik Universitas Indonesia (Fakulteit voor de Techniche Wetenschappen, kini ITB) di Bandung. Di Yogya, lahir Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, 1950). Semenjak kedua institusi ini muncul, semakin melahirkan ruang-ruang diskursus yang mampat dan tajam seiring dan sejalan dengan perubahan jaman serta konteksnya dengan berbagai kondisi sosial dan politik di Indonesia, paska kemerdekaannya. Perjalanan sejarah seni di negeri ini makin marak, antara lain dengan munculnya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, dibentuk 17 Agustus 1950), yang kemudian mengundang maklumat Manikebu (Manifesto Kebudayaan, 1963) oleh Trisno Sumardjo bersama HB Yassin dan kawan-kawan dalam merespon berbagai ide dan gagasan DN Aidit dalam faham seni.


Penyimpangan Konsepsi dalam Kreasi
Konstelasi peristiwa-peristiwa dalam atmosfer seni rupa Indonesia tersebut di atas merunut berbagai bentuk dan jaringan peristiwa-peristiwa berikutnya. Kreativitas para seniman menjadi sublimasi akumulatif, memunculkan paradigma baru sekaligus mematahkan dan memecahkan paradigma lama.

Penyimpangan konsepsi dalam seni rupa sebetulnya telah dilakukan oleh Raden Saleh, menurut rumours yang beredar dari masa ke masa. Ketika Raden Saleh melakukan lawatan ke daerah Semarang, dan in de kost di sebuah rumah, pada saat beliau check out, pengurus rumah sempat gaduh sehubungan dengan ditemukannya gumpalan berak di atas sprei tempat tidur bekas Raden Saleh yang ternyata hanyalah sebuah lukisan. Peristiwa lain adalah ketika seorang petinggi Kerajaan Belanda terkecoh dengan kupu-kupu di atas piring yang segera ingin ditangkapnya dan ternyata hanyalah hasil lukisan Raden Saleh.
Tahun 1970-an terjadi berbagai peristiwa dalam bingkai performance art , yakni di kota Yogyakarta provinsi Jawa Tengah, dilakukan sebagai proses katarsis seniman dalam mengejawantahkan akumulasi pikirannya. Kondisi sepanjang jalan Malioboro saat itu masih merupakan ‘panggung seni’ macam jalanan [street performance] di kawasan Beaubourg, Paris. Tahun 1973 tercatat Danarto (kini lebih dikenal sebagai sastrawan, meski masih melukis) –pelukis yang berdomisili di Yogya saat itu-- memamerkan karyanya yakni berupa kanvas kosong tak berpigura berukuran besar dan menyatakannya sebagai lukisan sekaligus arsitektur dan patung. Seniman lain yang kerap disebut mengawali aksi performance adalah Moelyono dengan aksi tubuh telanjangnya di jalan Malioboro, Yogyakarta. Seniman yang hingga kini masih beraktivitas lekat di berbagai desa, menganggap seni modern sebagai sesuatu yang repetitif di tengah status-quo yang ramai membicarakan kreativitas dan penolakan institusi seni (ASRI) terhadap seni rupa alternatif. Ia menggelar karya (disebut sebagai ‘seni rupa komunitas’) yang berjudul “KUD” atau “Kesenian Unit Desa” (Feriawan, 2006:54).

Merunut sejarah sebelumnya, setelah melewati fase Paska Perang Dunia ke-2 yang berbuntut periode dekadensi moral kemanusiaan yang kemudian melahirkan cara pandang baru manusia terhadap prinsip-prinsip humanisme, Indonesia juga menandai diri dengan semakin kuatnya motivasi mengenyahkan kolonialisme. Periode ini berlanjut pada realitas modern 1-2 dekade kemudian (periode Soekarno yang dipatahkan periode pemerintahan Soeharto yang kemudian dianggap sebagai sebuah ‘rezim’ oleh sebagian besar masyarakat) yang dicapai melalui proses modernisasi dengan memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia (Siregar, Aminuddin TH: 2005).

Sejalan dengan ini, muncul Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979) yang dimotori oleh beberapa seniman muda di Yogyakarta dan Bandung –berawal dari Seni Rupa ITB (Institut Teknologi Bandung) dan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia, sekarang menjadi ISI/Institut Seni Indonesia) Yogyakarta--, antara lain FX Harsono dan Bachtiar Zainoel.

Gerakan ini mendobrak tatanan apik romantisme seni rupa konvensional yang diajarkan di ASRI pada waktu itu. Muncul istilah ‘seni rupa penyadaran’. Gerakan ini menentang seluruh tradisi modernisme yang mendasari perkembangan seni rupa Indonesia sejak 1940 hingga 1960 dan tidak ingin lagi berdasar pada tradisi fine art semata. Mereka memberikan penekanan pada kritik sosial sebagai tema utama karya mereka dan mengembangkan ‘message art’ yang berpihak pada masalah kemiskinan perkotaan, pencemaran hidup, ketidakbebasan berpikir dan sebagainya. Ulah para perupa ini macam aliran CoBrA di Eropa (1948-1951) yang ‘mengejek’ keterkungkungan konsep artistik di masa itu yang mereka anggap tidak realistis dengan berbagai persoalan sosial yang ada.
Tahun 1977, di Yogyakarta diselenggarakan pameran seni rupa bertajuk Kepribadian Apa yang mengkritik pemaksaan identitas seni rupa Indonesia melalui institusi resmi dan mempertanyakan formulasi kepribadian Indonesia. Para pelakunya antara lain S. Prinka, Ronald Manulang, Satya Graha, Nyoman Nuarta, Wagiono dan Dede Eri Supria, berikut pemusik Sapto dan Jack Body serta seniman lainnya (Gendut Riyanto, Wienardi, Tulus Warsito, Budi Sulistyo, B. Munni Ardhi, Haris Purnama, Slamet Ryadi, Redha Sorana). Pameran ini ditutup polisi tanpa disertai alasan yang jelas. Di penghujung tahun, Desember 1977, hadir pameran Pelukis Muda Indonesia yang memunculkan karya-karya tiga dimensi berupa seni instalasi sebagai wujud seni rupa baru.
Menyusul penyelenggaraan Pameran Spontan di STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia, sebelumnya bernama ASRI). Pameran ini berlangsung melesat keluar dari ruang pameran ke ruang terbuka di halaman gedung sekolah. Mereka melakukan aksi performance berupa pembungkusan patung Aming Katamsi --pendiri akademi seni rupa tersebut--. Aksi ini menjalar hingga ke luar kampus ke kawasan pusat kota, sepanjang Malioboro hingga Pantai Parangtritis.

Penyimpangan konsepsi dalam seni rupa –dalam mempertanyakan fungsi sosial seni dan personal bagi eksistensi perupa-- ini juga berlangsung di Bandung. Tahun 1981 Semsar Siahaan membakar patung karya Sunaryo (Citra Irian dalam Torso) dan membubuhkan judul baru “Oleh-oleh dari Desa II” berikut lembaran-lembaran maklumat selebaran yang disebarkan di sekitar karya yang terbakar. Penyimpangan konsepsi keperupaan ini juga dilakukan Arahmaiani, Acep Zam-Zam Noor, Irawan Karseno, Harry Suliztiarto, Agus Resmonohadi, Nugroho Anggoro, Arfan Zainsyah dan lain-lain. Tahun 1982, Tisna Sanjaya dan W. Christiawan menggambar dan memajang karya-karya mereka di trotoar jalan Cikapundung sembari mengajak dialog para pedestrian yang lewat sebagai perhatian dan ungkap estetika dalam pengkaryaan mereka.
Pada saat itu masih belum dikenal istilah atau term ‘performance art’. Di Bandung, lazim digunakan istilah olok-olok macam ‘jeprut’, ‘pèrèngkèl jahé’ dan ‘blah blah war’. Istilah ini menjadi ‘istilah’ yang acapkali digunakan untuk menyebutkan bentuk tampilan aksi yang mengacu pada institusi yang mewadahinya sejak kelompok Pèrèngkèl Jahé mau pun Blah Blah War dibentuk. Hal ini kurang lebih sama dengan kelahiran aliran fluxus yang bermula dari keberadaan kelompok Fluxus di Barat.

Bandung merupakan kota di Indonesia yang memiliki rentetan peta peristiwa dan pelaku yang cukup padat dalam sejarah aksi seni performance. Mata kuliah Eksperimen Kreatif yang hadir di jurusan seni murni ITB pada pertengahan tahun 1970-an oleh G. Sidharta Soegiyo dan kemudian oleh Primadi Tabrani menyodorkan peluang bagi para mahasiswanya bereksplorasi di bidang artistik dan estetika, baik pada bentuk, ruang dan gerak. Eksplorasi gerak dan ruang serta interaksi terhadap publik juga menjadi muatan aktivitas ekstra kurikuler Studi Teater Mahasiswa (STEMA) ITB. Sanento Yuliman adalah salah satu pendiri dan Setiawan Sabana menjadi salah satu anggotanya. Salah satu mahasiswa seni rupa ITB lainnya bernama Suyatna Anirun mendirikan Studiklub Teater Bandung (STB) di luar kampus. STB kemudian menarik banyak peminat tak hanya dari lingkungan ITB namun juga mahasiswa dari berbagai intitusi antara lain dari UNPAD dan IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, sekarang UPI).
Di tahun 1984 STB mengadakan acting course. Salah satu materinya adalah olah tubuh dan olah sukma. Materi ini bertujuan melatih sensitivitas sang aktor/aktris terhadap penguasaan tubuh, ruang (blocking) dan improvisasi tubuh berdasar karakter. Pesertanya adalah antara lain Marintan Sirait, Andar Manik, Diyanto, Tisna Sanjaya dan lain-lain. Pelatihan olah tubuh dan sukma ini kerap dilakukan di luar kursus. Gerakan-gerakan yang dilakukan dalam mengolah gesture ini berkecenderung mengarah pada gerakan-gerakan eksperimental. Gestalt pun tidak menjadi unsur kaidah utama dalam proses eksperimen ini. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak lagi menjadi sebuah akting atau hal yang pura-pura dilakukan. Namun para pelakunya semakin asyik [berasyik-asyik sendiri] dalam melakukan setiap prosesnya. Kesadaran menemukan aktualisasi tersendiri di setiap detik gerakan yang terjadi ini adalah semacam sublimasi. Salah satu karya sempat dihadirkan oleh Marintan dan kelompoknya di gedung kesenian Rumentang Siang. Ia menggunakan perangkat sapu, ember sebagai penutup kepala dan sebagainya sebagai properti yang digunakan para performer saat mengolah gerak tubuh masing-masing di atas panggung.
Kelompok Sumber Waras (1988) kemudian lahir sebagai kelompok baru dalam mengembangkan ide-ide baru dalam olah tubuh sekaligus ekspresi keperupaan mereka. Aktivitas mereka umumnya dilakukan dalam keseharian di area Lapang Tengah kampus seni rupa ITB.
Istilah ‘happening art’ [istilah ini tidak dikenal dalam sejarah seni di Barat, karena sangat berbeda pada tujuan makna dan alasan dasar penentuan term] lahir di lingkungan mahasiswa seni rupa ITB. Digerakkan oleh Marintan Sirait dan Andarmanik dalam kelompok Sumber Waras tersebut bersama Tisna A Sanjaya, Arahmaiani, dan lain-lain diikuti pula oleh Diyanto, Irawan K. Arseno, Isa Perkasa dan lain-lain.
Para seniman tersebut acapkali melakukan aksi performance di dalam dan luar kampus serta acara Pasar Seni ITB (Institut Teknologi Bandung) sekitar penghujung tahun 1980an. Di tahun-tahun tersebut Arahmaiani dikenal dengan instalasi dan performance “Manusia Koran”nya bersama rekan-rekannya.
Gerakan eksploratif sekaligus intuitif tersebut segera saja digunakan sebagai salah satu alternatif bentuk medium ungkap oleh para perupa. Istilah jeprut banyak dilontarkan bagi aksi-aksi tersebut. Kemudian lahirlah pula gerak tubuh pèrèngkèl jahé. Gerak ini mengingatkan pada bentuk bongkahan umbi jahé. Penggerak kelompok Pèrèngkèl Jahé ini adalah Isa Perkasa.
Di saat yang bersamaan muncul pula Seni Rupa Lingkungan sebagai sebutan untuk menunjuk karya rupa yang mengeksplorasi ruang. Para perupa yang bergerak di aktivitas ini tidak hanya dari kampus ITB (Tisna Sanjaya, Arahmaiani, W. Christiawan, Isa Perkasa dan kawan-kawan), namun juga IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, kini menjadi UPI/Universitas Pendidikan Indonesia) jurusan Seni Rupa. Bambang Subarnas, Agus Nugraha dan kawan-kawannya se-angkatan 1981 sempat berkarya dalam tajuk “Citra I” di tahun 1982 di halaman gedung Partere (Bumi Siliwangi) dengan merakit, melukis, menyusun material yang mereka sebut dengan seni lingkungan. Nama-nama yang cukup dikenal rajin nge-jeprut di institusi ini kemudian adalah Rudy St Dharma (Uday), Aming D. Rahman dan Yoyoyogasmana.
Dari kawasan Unpad (Universitas Padjadjaran), Diro Aritonang, penyair dan teaterwan menyobek-nyobek ijazah strata satunya di depan kampus di jalan Dipati Ukur sambil membaca puisinya dan menaburi sekujur kepala dan tubuhnya dengan tepung terigu (1985). Sangat provokatif. Miranda Risang Ayu, tokoh drama, penyair dan penulis juga sempat menyuarakan ketidakpuasannya atas konsep NKKBKK [Normalisasi Kehidupan Kampus] dengan membaca puisi dan membakari kursi-kursi kuliah yang ditumpuk di halaman Universitas Padjadjaran.

Jeprut adalah istilah lain dari peristiwa eksplorasi olah tubuh di Bandung saat itu. Kondisi yang menunjukkan sesuatu yang berhenti atau putus tiba-tiba dengan seketika secara mendadak disebut dengan jeprut (dalam Bahasa Sunda). Istilah ini juga acapkali ditujukan bagi ‘orang gila’ (penderita sakit jiwa di taraf putus syaraf memori dan kesadarannya). Bentuk ini pernah dibahas dalam sebuah seminar di Gelanggang Generasi Muda Bandung (GGMB) oleh para pembicara Herry Dim, Putu Wijaya, Bambang Sugiharto, Suyatna Anirun dan Tisna Sanjaya. Peristiwa yang sangat padat muatan jeprut adalah tatkala terjadi penutupan gedung YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan) di jalan Naripan. Selama berhari-hari, sekitar puluhan seniman dan partisipan melakukan aksi nge-jeprut di depan gedung dan jalanan sebagai sikap penolakan atas penutupan gedung yang sudah puluhan tahun menjadi sarana berbagai kegiatan dan apresiasi kesenian satu-satunya di kawasan pusat kota.

Akhirnya hingga kini istilah ’jeprut’ menjadi salah satu kata yang digunakan untuk menunjukkan aksi seni performa secara spontan guna menarik perhatian publik. Pada beberapa hal digunakan dengan tendensi tertentu. Seperti pada kasus YPK, akhirnya gedung tersebut hingga kini masih digunakan bagi kepentingan berkesenian warga kota Bandung.
Blah blah war adalah istilah lain yang muncul di penghujung 1980an, tepatnya di tahun 1989. Blah Blah War adalah sebuah kelompok yang muncul dari area kampus IKIP --tepatnya di depan Gedung Pentagon--, terdiri atas para mahasiswa seni rupa. Penggagasnya adalah Uday. Pada salah satu selebaran aktivitasnya, ia menyatakan konsep tentang blah blah war, bahwa ”Blah blah war adalah keleluasaan ruang dan media dari seni rupa yang berorientasi pada gerak yang mengantisipasi tema dengan karakteristik joke, satire dan memunculkan pengekspresian temporer dalam bentuk apa pun (spontan): gesture, mimik, vokal, angle, media”.

Istilah lain yang juga muncul sejalan dengan tersebut di atas adalah bus bas bos (dipresentasikan oleh Yoyoyogasmana, 1989).

Namun istilah-istilah yang lahir dalam berbagai bentuk eksplorasi seni dari kawasan IKIP Bandung ini tidak banyak dikutip dan dicermati oleh publik. Bisa jadi karena IKIP Bandung tidak dianggap ‘populer’ pada saat itu bila dibandingkan dengan ITB yang dianggap memiliki kredibilitas tertentu serta lebih provokatif. Padahal frekwensi kuantitas aktivitas seni dari para mahasiswa IKIP hingga bernama UPI saat ini cukup bergerak dan mengalir. Hingga detik ini, publik seni di Jawa Barat cenderung menggunakan istilah jeprut untuk menunjukkan setiap aksi seni performa yang terjadi secara spontan.
Bersamaan dengan hal tersebut di atas, masa 1980an ini juga hadir karya-karya happenings macam John Cage dan kawan-kawannya di tahun 1952 di Black Mountain College, Amerika Serikat. Di Bandung muncul karya-karya Harry Roesli yang multimedia eksperimentatif, melalui kelompok DKSB (Depot Kreasi Seni Bandung). Tak hanya musik namun juga menyertakan audiens sebagai ‘korban’ eksperimennya semenjak memasuki pintu masuk ruang pertunjukan. Antara lain dalam pertunjukan “Musik Rumah Sakit” dan sebagainya. Munculnya Teater SAE yang dipimpin oleh Boedi S Otong, juga merupakan salah satu indikasi menuju pendobrakan kaidah teatrikal. Proses pengolahan tubuh sebagai medium ekspresi menjadi titik utama dalam setiap pertunjukan. Permainan gesture yang terjadi oleh Margesti, Zainal Abidin Domba dan aktor lainnya sangatlah mengalir, lebih dari sekedar diaktingkan atau dibuat-buat. Naskah-naskah provokatif milik Afrizal Malna menjadi sumber utama yang menjadi kendaraan terbesar para aktor dan aktrisnya saat mengeluarkan energi eksperimentalnya. Boedi secara militan membiarkan konstruksi teatrikal bergerak dan mengalir menuju bingkai skema cerita yang seringkali membebaskan pemain dan alur cerita itu sendiri.

Peleburan sekat-sekat berbagai bentuk seni oleh para artis rupa ke gerak menjadi sastra dan seterusnya ini merupakan inti dasar pemikiran FT Marinetti, sang penyair di tahun 1909 saat mencetuskan ide Futurismenya, baik di Barat [Itali, Perancis dan Eropa] hingga ke Jepang [terbit 3 bulan kemudian]. Manifestonya kemudian [Parole in Liberta/ Kata-kata dalam Kebebasan, 1912] menyebarkan pengaruh hingga aliran Dada yang kemudian menyulut gagasan Fluxus sebagai akar utama kelahiran seni performa.

Proses yang terjadi di Indonesia adalah berbeda. Pengaruh pemahaman atas aliran ini tidak sejalan di waktu dan kondisi yang sama. Indonesia merupakan negara yang baru lahir dan berkembang di level dunia ketiga. Keterbatasan pendidikan dan pengetahuan di luar kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan masih di bawah titik nol. Tiga dekade kemudian kesadaran akan kejenuhan atas keberadaan sekat-sekat dan konsep estetika ini baru terasa ketika pemerintahan di bawah pemimpin yang sama di waktu yang terlalu lama sehingga menciptakan kecenderungan berfigur diktator. Seperti berada di kawasan ’smokey area’, serba kabur dan penuh dengan ke-tidakkonsisten-an hingga ketidakjelasan. Berbagai peristiwa sosial, politik dan seterusnya menimbulkan ide-ide baru yang muncul dari ke-tercekik-an atas situasi yang ada. Bentuk ekspresi unconventional art mulai bermunculan. Kondisi pendidikan berikut pengetahuan atas sejarah seni yang yang masih sangat jauh secara kualitas dan merata menimbulkan pemahaman dan munculnya istilah-istilah yang terpenggal-penggal. Namun setelah lambat laun para seniman mulai merambah ke dunia luar, komparasi pun terjadi. Upaya-upaya menekuni studi menjadi fokus bagi beberapa seniman yang berhasil memperoleh kesempatan. Kehadiran perkembangan teknologi turut mengarahkan perkembangan wacana. Berita-berita paling aktual menjadi masukan bagi berbagai kreasi. Kehadiran sistem internet di dunia IT di era globalisasi menjadi pemicu kebersamaan berwacana dan menyadari ketertinggalan pengetahuan berikut kreasi. Kebutuhan untuk saling mendapatkan informasi dan peluang-peluang baru menjadi hal keseharian. Berbagai peristiwa seni guna pengembangan wacana sebagai bentuk apresiasi semakin diselenggarakan, dengan menyertakan para seniman dan tokohnya dari negara-negara lain.


Istilah ‘performance art’ baru dikenal setelah beberapa artis Indonesia hadir di beberapa acara festival performance art internasional di manca negara sejak tahun 90-an menjelang millenium.
Setelah melewati masa booming pameran dan penjualan karya seni rupa (era 80-an), di awal era 90-an terjadi kritik atas situasi pasar komersial yang telah terjadi. Muncul karya-karya seni instalasi sebagai buah produk dari Dadang Christanto, Heri Dono, EddiE Hara dan FX Harsono yang disertai aksi performance mereka sebagai pernyataan pergerakan idiom seni rupa Indonesia menuju pergerakan seni rupa dunia yang lebih plural.
Wacana performance art hadir di era ‘80an. EddiE Hara memulai aksinya keliling kota Yogyakarta selama 24 jam dengan menggelar karyanya. Bersama seorang mahasiswi ISI dari manca negara, borgol membelenggu tangan mereka berdua dan kunci disimpan oleh seorang dosen. Selama beberapa hari dalam keadaan terborgol bersama, kedua seniman tersebut harus melewati segala aktivitas masing-masing bersama, baik berjalan, buang air, tidur, makan, naik bus, ganti baju dan sebagainya. Aksi ini adalah hasil inspirasi karya Hsieh Teching dan Linda Montano yang memborgol tangannya selama setahun berjudul “Hardship”.
Di tahun 1990an, ‘manusia lumpur’ Dadang Christanto melakukan performance saat di Jepang. Ia berjalan dengan celana dalam putih dan sekujur tubuh dari kepala hingga mata kaki berbalur bedak/ pupur putih dan menyusuri daerah pertokoan dan public space di Jepang. Tahun 1994, di Solo (Surakarta) hadir Tang Da Wu, performance artist dari Singapura dengan karyanya berjudul “Black Monsoon” di arena Taman Budaya Surakarta (TBS) dalam rangkaian acara Festival Nur Gora Rupa. Performance Dadang Christanto lainnya tercatat ditampilkan di tahun 1997 (Feriawan, 2006:55). “Manusia Tanah” dan For Those Who had been killed adalah performance yang produk akhirnya menjadi instalasi.
FX Harsono membakar dan menggergaji beberapa kursi kayu dalam karyanya berjudul “Korban I/ Yang Mati Terbakar”. Ia kemudian meninggalkan artefak performancenya yang menjadi instalasi di ruang pamer Cemeti Art House, Yogyakarta. Karya Harsono merupakan representasi atas tragedi 13-15 Mei 1998 di Jakarta yang banyak menyertakan korban ribuan jiwa yang terbakar dalam aksi massal pembakaran atas bangunan yang dihuni etnis Cina (Tiong Hwa).
Menjelang tahun 2000, beberapa artis Indonesia makin dikenal di arena internasional secara lebih meluas. Mereka yang dikenal sebagai performer manca negara selain selaku perupa adalah Teguh Ostenrik, EddiE Hara, Made Wianta, Nyoman Erawan, Krisnamurti, Arahmaiani, Hanafi dan lain-lain.
Istilah ‘performance art’ dilontarkan untuk pertama kalinya bagi publik Indonesia melalui acara festival performance art di Jakarta (JIPAF 2000). Acara ini dimuat oleh berbagai media massa ibu kota yang memiliki oplah dan segmen pembaca terbesar di Indonesia (baca: KOMPAS). Di tahun 2000, acara JIPAF (Jakarta International Performance Art Festival) 2000 hadir di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Penyelenggaraannya digagas dan dilakukan oleh Arahmaiani bersama Komunitas Utan Kayu. Acara ini mengundang reaksi frontal dengan terjadinya sebuah aksi di dalam kawasan TUK yang melakukan atraksi sendiri di halaman oleh seseorang bertopeng putih dengan menggelar pamflet atau kertas-kertas bertuliskan kata-kata dan kalimat negatif, yang juga ditujukan kepada pihak pendukung antara lain The Japan Foundation.

Sejak itu, performance art mulai diperbincangkan dan diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia, terlepas dari isyu pro dan kontra, baik melalui media massa. Beberapa artis pun makin merambah dan eksis di luar, beberapa bahkan jauh dari istilah ‘jago kandang’, dalam arti ‘tak tersentuh’ oleh media massa. Nama-nama antara lain Tisna Sanjaya, Diyanto, Isa Perkasa, Yoyoyogasmana, W. Christiawan, Mimi Fadmi, Iwan Wijono, Reza Afisina dan lain-lain seringkali hadir di berbagai forum internasional. Hadir juga nama Tiarma Dame Ruth Sirait, performer yang sangat khas dengan eksplorasi keperupaannya di jalur fashion dan telah menyelesaikan thesisnya [2006] mengenai performance art berkaitan dengan bidang fashion [fashion performance] di Swedia. Synthetic Love adalah judul thesis sekaligus kostum yang ditampilkan sebagai ujian akhir di Högskolan i BorÃ¥s, Swedia dan berlanjut di Ewood Park, Blackburn Football Stadium di Inggris hingga ke sebuah galeri di kawasan Kemang, Jakarta yang dikuratori oleh Enin Supriyanto dan Rifky Effendy. Melati Suryodarmo adalah nama lain yang juga telah menekuni studi seni performa semenjak partisipasinya dalam kelas pengajaran Marina Abramovich di Jerman.

Di Bandung muncul komunitas-komunitas yang melahirkan event antara lain: BaPAF (Bandung Performance Art Festival) yang digagas dan penyelenggaraan awalnya oleh Arief Yudi di tahun 2000 di Galeri Barak. Nama-nama yang hadir selain performer senior saat itu antara lain: Deden Sambas, Hendra Prawira, Panji Sis, Nandang Gawe, Tiarma D Sirait, Daan, Adde, Aket, Heru Hikayat, Riyanto dan Anggiat Tornado. BAE (Bandung Art Event) 2001, Indonesia-Japan Exchange Performance Art & Workshop adalah beberapa event yang sempat dilakukan di kota Parijs van Java ini. Yoyoyogasmana memelopori pembentukan B+PAC (Bandung Performance Art Community) di tahun 2003 dan menjadi penerus penyelenggaraan BaPAF#1 dan #2 sekaligus head office IAPAO (International Association for Performance Art Organisers) untuk Asia yang berpusat di Helsinky, Finlandia. The 2nd IAPAO Meeting + International Performance Art Festival dilaksanakan di Bandung tahun 2004.
Bandung memang tergolong sangat ‘ramai’ dalam ‘dunia persilatan’ performance art. Hadirnya para pegiat yang tak hanya performer berkaliber internasional, namun juga para pengamat, penyelenggara dan penggulir sekaligus pelaku terjadinya diskursus dan penggagas serta motivator ke arah wacana di kota sejuk ini sungguh sangat menyemangati dan menyirami tumbuh kembangnya kehidupan seni. Selain melakukan penampilan perorangan dan kelompok yang diorganisasi di galeri-galeri dan ruang-ruang publik seperti mal dan jalan raya, mereka juga membentuk komunitas yang segera mandiri menyelenggarakan kegiatan berkala yang bertujuan menjembatani apresiasi publik terhadap karya-karya mereka (Hujatnikajennong, Agung: 2004). Para pemerhati di bidang ini beberapa di antaranya bergerak maju melakukan riset sebagai disertasi, tesis atau pun skripsi serta menyelenggarakan arsip dan berbagai acara sharing-forum seperti artist talk, diskusi, seminar dan workshop [seperti yang dilakukan oleh Gustaff H.]. Acara penggodogan wacana ini hadir dalam ruang-ruang diskusi yang seringkali diselenggarakan di Rumah Nusantara, Galeri Barak, Galeri Kita, CommonRoom, Taman Budaya Dago Jawa Barat, LinkArt, Selasar Sunaryo, CCF [Centre Culturel Francais], Studio Rosid, Galeri Soemardja di ITB serta beberapa universitas dan sebagainya. Sementara para performernya yang tergolong ‘setia’ berkubang di dalamnya antara lain: Aminuddin TH Siregar, Frino Bariarcianur Barus, Dikdik Sayahdikumullah, Herra Pahlasari, Uga Stigma, Prilla Tania, Armand Jamparing, Angga Wedhaswhara, Ferial Affif, Roni Brons, Godi Suwarna, Mukmin (Soge) Ahmad, Rangga Muslim, dll. Kelompok-kelompok yang juga turut marak meramaikan dunia performance art di kota wisata outlet ini antara lain adalah: Ganiati (Garing Mania sampai Mati), SBD (Serangga Berbulu Domba), DBB (Demam Berdarah yang Berdoa), Tai Kotok dan lain lain.
September 2006, B+PAC sempat menjalankan program pre-BaPAF#3 di berbagai kampus dan perguruan tinggi di Bandung sebelum melakukan BaPAF#3 Goes to Public, Tour de Java untuk menjalin networking sekaligus sharing forum bagi wacana performance art di berbagai institusi seni di Jawa Barat, Jawa Tengah (Yogyakarta, Solo) dan Jawa Timur (Surabaya, Malang). Pemimpin acara ini adalah Mukmin ‘Soge’ Ahmad. Berbekal beberapa artikel (karya Heru Hikayat dan S S Listyowati) serta ‘majalah’ laporan penyelenggaraan BaPAF#3 Goes to Campus di bulan April 2006, panitia menyebarluaskan informasi dasar tentang performance art di dunia dan Indonesia sebagai upaya sharing forum.
Masih di bulan yang sama, Pasar Seni ITB meramaikan acaranya dengan memasukkan seni performa sebagai salah satu agendanya dalam pembagian area seni (tradisi, kontemporer), antara lain dalam zona Corrugated Temple dan Kubah Putih. Berbagai aksi juga dilakukan oleh para performer dalam kesempatan di Braga Festival bertajuk street performance.
Di kawasan Yogyakarta nama Venzha Christiawan –yang tekun bereksperimen mengeksplorasi teknologi elektronik digital dan video—sekilas mengingatkan kita pada performance Atsuko Tanaka dari kelompok Gutai di Jepang di tahun 1950an dengan baju elektriknya. Disadari atau tidak pada awalnya, perkembangan eksperimen seperti yang dilakukan Venzha adalah keindahan tersendiri bagi perkembangan dunia performance art di Indonesia serta multi media lainnya dalam seni. Hasil eksplorasi Venzha berikutnya [cellsbutton#01] sempat pula mengundang perhatian salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia untuk menampilkannya sebagai DJ dalam film advertorial salah satu produknya. Karya ini mengingatkan kita pada kostum DJ-show a la film ‘M.A.T.R.I.X’ produksi Hollywood.
Iklan ini ditayangkan di berbagai TV broadcast dan studio layar lebar di Indonesia.

Selain itu nama-nama seperti Ira, Ronald Apriyan, Yustoni Volunteero, Rachel Saraswati, Lashita, Yayan Hariansyah, Cutter Sindhu, Wendy Shan Wong, Sadat Laope, Orsay Eugene, P-Trus, Naras, Tere dan lainnya adalah gambaran perkembangan yang stimulan. Tercatat penyelenggaraan acara khusus performance art antara lain Perfurbance yang dilakukan rutin setiap tahun oleh kelompok PerformanceKlub. dengan mengundang beberapa performance artist luar negeri untuk memberikan workshop dan artist talk, macam Seiji Shimoda penyelenggara festival seni performa [NIPAF] hingga belasan tahun di Jepang.

Selain itu hadir pula dalam beberapa sessi Biennale Jogja (2005) oleh komunitas seni dan riset Cemeti, selain hadir dalam beberapa forum lainnya antara lain di Kedai Kebun, LIP [Lembaga Indonesia-Perancis], Bentara Budaya Jogjakarta dll.

Di Solo, kehadiran Melati Suryodarmo beberapa kali semenjak tinggal di Jerman juga menyertakan perkembangan acara performance art di peringkat internasional. Undisclosed Territory diadakan semenjak tahun lalu di Padepokan Lemah Putih.

Di Jawa Tengah selain Yogya dan Solo, kesukaan berperformance juga merambah kawasan Muntilan, Magelang, Jepara, Semarang dan sebagainya. Di Semarang, Rumah Seni Yaitu menghadirkan wacana atas performance art dan perkembangannya kini.

Sebuah kelompok gerak eksperimental GeberModusOperandi adalah salah satu pembawa wacana. Lebih dari sekedar Teater SAE, dalam setiap penampilannya kelompok ini sangat tidak mempedulikan konsep ‘akting’. Dengan mengindahkan nilai konvensional dalam sebuah peranan, setiap pemain bergerak ‘secara liar’ dan menimbulkan kondisi ekperimentatif pada diri masing-masing. Para pemain dibebaskan dalam patron yang telah ditetapkan. Mirip Teater SAE atau Teater Forum pimpinan Sigit Haryoto-Bodong Adam hampir 2 dekade lalu. Namun penampilan GeberModusOperandi dalam judul yang sama di setiap panggung tak pernah sama. Selalu memiliki unsur eksperimen saat berlangsungnya pementasan itu sendiri, bergantung pada tempat berlangsungnya dan respon audiens. Penonton akhirnya menjadi lebur di dalamnya. Sehingga oleh beberapa pengamat apa yang dilakukan oleh GeberModusOperandi adalah sesuatu dalam bingkai performance art. Orang-orang yang bergerak di belakang ide ini antara lain adalah Amrizal Sulaeman dan Pius Sigit. Semangat dan eksplorasi ‘media tubuh’ sedemikian maksimal yang digunakan dalam repertoar pertunjukan teater juga dilakukan oleh Teater Garasi. Sang asisten sutradara, Gunawan Maryanto, seringkali menggunakan istilah ‘performer’ dan performance, bukan ‘pemeran’ atau ‘aktor’ dan ‘pertunjukan’ saat dalam diskusi bersama audiens (Widjono, Iwan: 2001).
Di Surabaya, Malang dan sekitar Jawa Timur meski belum marak diselenggarakan dalam forum-forum khusus, namun beberapa seniman antara lain Saiful Hadjar, Nanang Zul, Agus Koechink, Ilham J. Baday, Herry Lentho, Karsono, Slamet Gaprak, Sjallabi dan sebagainya, tercatat acapkali melakukan performance eksperimental selain karya instalasi. Muncul istilah ‘seni rupa bermain’ setelah sebuah kelompok hadir dengan nama Kelompok Seni Rupa Bermain [KSRB] yang dibentuk oleh Saiful Hadjar. Konsep yang dihadirkan dengan istilah ini menunjukkan bahwa dengan bermain adalah mengembalikan gagasan untuk mewujudkan kebebasan berkreasi menurut medium yang bisa dilakukan: kesenian sebagai manifestasi budaya. KSRB mengembalikan fungsinya dengan cara-cara berbudaya guna memperoleh kebebasan dan mencari makna di dalamnya. Keterlibatan langsung pada masalah kemanusiaan, hubungan keseimbangan manusia, alam beserta isinya, berusaha untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam arus kebudayaan [Ngasiran, Riadi, 2001].

Para performer tersebut melakukannya di pelataran, jalanan hingga di sungai, hingga aksi-aksi yang dilakukan ini menarik perhatian para polisi untuk meng’aman’kan para senimannya. Ilham J. Baday adalah performer yang tengah produktif. Bersama kelompok Arek Performance, ia menyelenggarakan SIP-AE2008 [Surabaya International Performance Art Event] di kota Surabaya, Jawa Timur.
Di Makassar, kota di Selatan pulau Sulawesi [Celebes] juga tampak marak dengan berbagai acara keseniannya hingga ke dunia internasional setengah dekade ini, telah muncul beberapa kelompok dan individu di dalamnya selaku performer. Street theater (street performance) yang acapkali mereka lakukan di jalanan dan berbagai lokasi sebagai benang merah dan inti permasalahan sosial yang ingin mereka katakan menjadi catatan tersendiri dalam dunia seni di Indonesia. Secara tradisi mereka telah memiliki kebiasaan ritual dalam menyampaikan harapan-harapan ke dalam bentuk seni yang langsung dan spontan dihadirkan ke depan publik. Kesukaan melakukan performance ini melahirkan beberapa performer yang dapat dikategorikan ke dalam bingkai performance art. Beberapa di antaranya mulai melepaskan kaidah-kaidah teatrikal serta unsur-unsur performing art, meski belum berjalan secara konsisten. Para performer ini tak selalu beraksi di sebuah tempat atau jalanan, kadang mereka beratraksi di atas bus antar kota. Firman Djamil seringkali melakukan aksinya secara kolosal bersama rekan-rekan seniman dan melibatkan sebagian warga kota, para tukang beca dan sebagainya menuju gedung Walikota dan bertemu dengan sang Walikota. Ahmad Anzul muncul dengan performancenya di antara kubangan dan timbunan sampah. Simon Irwin dengan menjinjing perangkat radio tapenya yang selalu dihidupkan sambil terus berjalan kaki, mematung diri di tengah jalan dan perempatan kota, memasuki kendaraan umum angkutan publik dan menuju rumah tempat tinggalnya. Kelompok teater Merah Putih pimpinan Shinta dan Armand sempat berkolaborasi bersama para seniman setempat lainnya melakukan performance spontan hingga lebih dari 24 jam sampai keesokan harinya.

Di Bali, institusi yang beberapa kali menyelenggarakan festival bertajuk performance art ini adalah komunitas seni di lingkungan Universitas Udayana. Beberapa performer juga hadir dari kawasan Singaraja. Klinik Taksu di Denpasar adalah komunitas yang sangat kental bereksplorasi dalam ruang performance art, selain terkenal dengan lukisan mural dan graffiti. Para seniman dari etnis suku Bali pada umumnya hijrah studi ke pulau Jawa dan seringkali menetap. Nama-nama para perupa seperti Nyoman Tusan, Krisna Murti, Made Wianta dan lain-lain adalah juga para performer. I Gde Made Suryadarma adalah salah satu pelaku seni performa yang kini mulai merambah ke dunia internasional.

Belum semua data berhasil masuk, karena para performer yang melakukan kegiatan performance art tersebar di berbagai daerah sangatlah sporadis. Seperti misalnya Jambi serta Riau, atau pun Padang, Medan, Palangkaraya, Banjarmasin dan Balikpapan serta beberapa kota kecil lainnya, menurut sinyalemen terdapat pula para pelaku dan peristiwanya.

Sementara di Jakarta sendiri, meski seringkali diselenggarakan, namun belum bisa dihitung dengan jari sebelah tangan untuk acara khusus performance art. Reza Afisina [Asung], pegiat dan penggagas berbagai ide acara seni kontemporer dan multi-media art [mural, video art dll] yang mengangkat tema-tema grass-root di komunitas RuangRupa adalah seniman performa yang acapkali hadir di beberapa forum internasional. Beberapa mahasiswa IKJ, antara lain Andy Tidjels dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok SakitKuningCollectivo juga merupakan kelompok yang sangat getol bereksplorasi dengan berbagai bentuknya di koridor seni performa. Mereka acapkali terlibat dalam berbagai acara di komunitas RuangRupa. Rewind Art adalah sebuah komunitas performance art di lingkungan UNJ (Jemaat dan kawan-kawan) yang cukup setia dan produktif. Kelompok ini melakukan performance art sebagai kegiatan harian. Seringkali terjadi peristiwa performance art di dini hari, usai bangun tidur di ruang studio kreatif mereka di kampus. Meski tampak main-main, namun acara ini menggunakan publikasi terlebih dahulu, antara lain dengan penyebaran leaflet dan poster sebagaimana acara resmi laiknya.

Selain JIPAF, Galeri Nasional pernah pula menyelenggarakan event khusus di tahun 2005 [Ambulance], demikian pula komunitas seni di UNJ (Universitas Negeri Jakarta) serta para mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta) di kawasan TIM (Taman Ismail Marzuki). Acara berskala internasional diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta dengan tajuk Talk & Performance ”What is Performance Art?” oleh S S Listyowati bersama Yoyoyogasmana, Juliana Yasin, Rangor, Sylvia Isabelle, Ahmad Soge Mangge dan kelompok Rewind Art di bulan Juni tahun 2006. Di tahun yang sama, terjadi lagi penyelenggaraan festival seni performa berskala Internasional di Galeri Nasional bulan Desember dengan judul ”Birds Migration: Indonesia International Performance Art Event 2006” yang diikuti oleh sekitar 50 peserta baik lokal mau pun luar negeri yang digagas dan dikoordinasikan oleh AppreRoom pimpinan S S Listyowati. Usai acara, beberapa performer menuju Cirebon, dipandu oleh Arief Yudi guna mengikuti acara Jatiwangi Artists in Residency [JIPAIR] yang diselenggarakan oleh Jatiwangi Art Factory [JaF] di 3 desa [Jatiwangi, Jatisura, Surawangi] di kawasan Majalengka selama seminggu dan tiga hari festival seni performa. Di tahun 2007 Galeri Nasional sekali lagi bersama AppreRoom menyelenggarakan ASEAN/Aksi 2007: “Occupying Space” yang dikuratori oleh Heru Hikayat dan bertempat di Jakarta dan pulau Lombok, tepatnya di desa Sembalun kawasan lereng Gunung Rinjani.

Selebihnya, seni performa lebih banyak diselenggarakan secara individual untuk melengkapi acara-acara pembukaan seni rupa di berbagai galeri dan pameran lainnya. Tak hanya di Jakarta namun juga berlaku di beberapa kota dan daerah lainnya seperti Bandung, Jakarta, Yogya, Surabaya dan Bali.
Beberapa artis yang telah melesat jauh hinggap di atap negeri-negeri seberang, sehingga di kandang sendiri pun tak terdengar dan sampai kini masih berdomisili di kawasan Eropa serta tetap terus bergerak eksis di bidang ini. Mereka antara lain adalah Melati Suryodarmo (dari Solo/ Surakarta) kini bermukim di Jerman dan Boedi S. Otong (dari Jakarta) yang kini di Swiss, selain EddiE Hara (dari Yogya) di Basel. Karya-karya performance art Melati banyak dibicarakan karena kekuatan konsepnya. Atraksinya yang terkenal adalah menari di atas mentega dengan sepatu wanita bertumit tinggi di periode 1998. Performance berjudul “Exergy Set” ini dihadirkan lagi di Goethe Institut, Maret 2006. Dalam salah satu karyanya yang lain (setelah tahun 2000), ia menyanyikan lagu Indonesia Raya di sebuah taman kota area wisata di Jerman dalam gaun panjang nan anggun lengkap dengan sepatu hak tingginya setelah terlebih dahulu ia ditarik di atas tanah mengelilingi kawasan taman oleh sebuah kereta kuda kuno nan indah lengkap dengan para kusir dan penumpang ‘bulé’ berkostum bangsawan Eropa di masa lalu. Sementara Boedi lebih banyak menggunakan tehnik ‘minimalis’. Tak pernah menggunakan perangkat benda yang sengaja ia hadirkan sebagai media atau alat bantu setiap atraksinya. Karyanya antara lain berdiam diri berjam-jam mematung di sebuah perempatan jalan di ujung sebuah zebra cross di sebuah kota di Eropa atau berendam di dalam air laut di sebuah pantai di beberapa negara. Di saat lain Boedi hanya bergumam dalam bahasa ‘aneh’ dengan gerak tubuh bagai orang tengah bercakap di tengah sebuah forum diskusi di Semarang. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa dialog tidak harus menggunakan bahasa yang sama dan dimengerti.

Penyelenggaraan performance art di Indonesia lebih sering dilakukan untuk kepentingan merespons berbagai masalah sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang tengah terjadi aktual. Seringkali kita dapati para performer melakukan kegiatannya saat terjadi kenaikan harga, para petani kehilangan lahan, ketiadaan pangan layak di suatu daerah, persoalan illegal logging, upah buruh rendah, PHK, BBM, pornografi, pornoaksi, protes terhadap berbagai RUU, penyadaran ekosistem hingga problem kematian Munir yang masih tanda tanya. Santo Klingon adalah contoh salah satu performer yang sangat rajin menyuarakan kondisi aktual ini dalam performancenya di lokasi-lokasi terjadinya bencana. Tak hanya melakukan performance, namun ia juga membantu pengajaran bagi anak-anak di jalanan atau di lokasi minus [sekolah jalanan]. Berbagai reaksi dalam bentuk aksi dan atraksi ini hadir tak hanya dalam ruang-ruang berdinding, namun acapkali melebar hingga ke jalan-jalan raya, halaman gedung pengadilan, sungai-sungai dalam kota, sentra penimbunan sampah dan sebagainya.
Institusi-institusi kebudayaan asing pun berperanserta dalam pengembangan wacana performance art baik dalam acara-acara diskusi dan ‘live show’nya. Antara lain adalah The Japan Foundation, Goethe Haus, Erasmus Huis dan pusat kebudayaan Perancis yang tersebar di beberapa kota di Indonesia, antara lain CCF (Centre Culturel Français) di Jakarta dan Bandung, LIP (Lembaga Indonesia Perancis) di Yogya serta CCCL (Centre Culturel et Cooperation de Language) di Surabaya.

Dalam pengamatan penulis, terdapat koridor yang berbeda meski dalam ruang yang sama. Sebagaimana penampilan yang ditunjukkan para performer macam Suprapto Suryodarmo atau Agoes Jolly serta lainnya. Meski pun beberapa di antaranya acapkali hadir dalam berbagai event yang disebut performance art, namun penulis tetap melihat ‘perbedaan’ koridor yang digunakan. Para performer ini menampilkan hal spesifik, lebih mengandalkan ritme gerak tubuh dan beberapa kaidah performing art sehingga membuat setiap performance mereka ‘terasa lain’ dan tetap berada dalam bingkai performing art ketimbang ‘performance’ macam Joseph Beuys, Yves Klein atau pun Yoko Ono yang sangat konseptual.
Karya konseptual terkadang juga hadir melalui komposisi musik komponis Slamet Abdul Sjukur yang terkadang menggunakan pakem eksperimentalnya ke dalam musik minimalisnya yang eksploratif. Menurut penulis, ini adalah sebuah karya performance art. Dalam salah satu repertoarnya ia menggunakan sepatu yang diisi air untuk mendapatkan ‘keindahan’ suara, bermain dengan suara air dalam mulut, atau menampari pipinya yang dikembungkan sedemikian rupa sehingga tercipta bunyi tertentu melalui soundsystem. Pernah pula ia mengajak masyarakat sebuah desa di Jawa Timur mengumpulkan pita-pita kaset yang kemudian dibentuk sedemikian rupa menjadi musik instrumental baru saat tertiup angin. Setiap repertoarnya memiliki penjelasan filosofi yang panjang lebar dan lebih menarik kesadaran publik atas hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya (environment).

Pada dasarnya performance art adalah sebuah performa atau penampilan yang provokatif, sekaligus esoteris. Tak banyak orang mampu memahaminya dan butuh waktu. Meski performance art memiliki kecenderungan dalam pesan ‘penyadaran’ dan kepedulian, konsep moral yang mendasarinya tetaplah terbungkus dalam bentuk-bentuk yang ekstrim dan radikal. Seni performa sangatlah provokatif. Provokatif tak hanya seperti yang dilakukan Marina Abramovich saat menyilet permukaan perutnya sendiri yang mulus dan cantik, atau Nam Jun Paik yang mengampak dan memecah belah perangkat TV bersama Wolf Vostel. Provokatif bisa juga seperti yang dilakukan Tisna A Sanjaya dengan mengajak masyarakat sekampung untuk bermain bola bersama, atau juga Hendrawan Riyanto dengan ‘keluarga pisang’nya. Karya kedua performer Indonesia ini sangat provokatif. Mereka membuka ‘kesadaran’ publik atas komposisi interaktif manusia dengan cara yang cukup frontal. Tampak ‘biasa-biasa’ saja, namun kemudian cukup mencengangkan saat memahaminya. Para audiens terprovokasi dan ’sadar’ pada akhirnya. Kenikmatan dalam perolehan ’pencerahan’ ini macam yang dilakukan dalam ritual ’thaipoosam’ dalam kebudayaan India atau pun ’debus’ di Banten, atau juga upacara menusuk-nusuk diri dengan senjata pusaka di kalangan para ’bhissu’ di Sulawesi.

Pelaku performance art tak hanya hadir dan berasal dari ruang seni rupa, meski pun juga tak jauh dari bidang seni. Beberapa artis berasal dari aneka akademika, baik di bidang hukum, arsitektur, teknologi dan lainnya. Salah satu contoh adalah IG Hartono, perupa sekaligus dosen arsitektur UNTAR* menurut penulis adalah seorang performer. Video art yang dibuatnya menunjukkan kecenderungannya berada dalam ruang performance art. Dalam acara pameran senirupanya di New Zealand, tahun 2005 lalu hasil kuratorial Rifky Effendy**, menurut penulis adalah bentuk sebuah seni performa. Judul karyanya adalah “Border”. Ia membagikan formulir imigrasi kepada setiap pengunjung untuk diisi. Formulir-formulir ini ia display (ditempel) pada sebuah permukaan dinding galeri sebagai karya rupa (visual art). Iswanto ingin menceritakan betapa susahnya saat memasuki negeri Paman Sam akibat peristiwa 11 September dan bom Bali –dalam rangka program residensi di Vermont Studio of Visual Art, Amerika Serikat. Ia harus mengalami masa tunggu berjam-jam di bandara dan mendapati berbagai tas dan bagasinya diobrak-abrik petugas bea cukai, sementara penumpang non-Indonesia tidak diperlakukan demikian.

*) Fakultas Arsitektur UNTAR [Universitas Tarumanagara di tahun itu adalah model akademika yang cukup progresif dengan kesadarannya atas pengembangan pengetahuan bagi para calon arsitekturnya, antara lain secara reguler per bulan menggelar acara talk dan diskusi [Tea Space] di ruang Bengkel yang membahas berbagai kajian seni dan budaya serta membangun Galeri Lawang sebagai salah satu pendukung materi pendidikannya. Galeri ini berbentuk hall yang memungkinkan para pegiatnya untuk bereksplorasi. Hal ini mengingatkan kita pada semangat Bauhus.
**) Rifky Effendy adalah kurator yang acapkali menyertakan para perupa di bidang seni instalasi yang juga melakukan aksi seni performa di berbagai event international.
Hingga kini ia adalah kurator tetap di Galeri Kafe Cemara 9 di Jakarta.


Meski begitu pesatnya performance artists kita di belahan dunia luar, di Indonesia sendiri masih belum juga menjadi sebuah kesatuan persepsi. Beberapa di antaranya masih mengkategorikannya dalam performing art, yakni seni pertunjukan, yang berujud tari atau teater dan musik. Istilah yang kemudian muncul, yakni ‘seni rupa pertunjukan’. Publik seni lainnya juga masih bingung atas perbedaannya dengan ‘happening art’ dan atraksi nge’jeprut’ lainnya. Ada seorang pengamat seni yang menyebutkannya sebagai ‘seni rupa langsung’, dan pengamat lainnya menyebutnya sebagai ‘seni rupa gerak’ (Dewanto, Nirwan: 2002) serta menyebutkan “Tujuh Paradoks Performance Art” yang agak kontradiktif dengan deskripsi sebelumnya (dalam tulisan yang sama). Penulis melihatnya sebagai kesimpulan yang tergesa-gesa apabila hanya mengacu pada peristiwa JIPAF 2000 dan cuplikan kepingan-kepingan referensi. Sejarah seni performa meliputi banyak pelaku yang terbagi dan tersebar secara geografis dalam lapisan kronik waktu. Begitu pula dengan para pemerhati dan penulis serta peneliti dalam genre ini. Setiap kehadiran seni performa di satu tempat merupakan hasil telaah dan mata rantai kausalitas dari peristiwa sebelumnya serta bersifat situasional yang perlu dicermati dengan hati-hati.
Bila tidak, maka pendapat yang disampaikan terlihat belum menggenggam bobot dasar referensi. Hal ini akan semakin mengoyak wacana publik ke arah persepsi nan chaos. Demikianlah, media massa pun tak lepas dari ‘kesalahpahaman’ dan ‘ketidaksepakatan’ ini.
Pembinaan wacana melalui media massa (baca: suratkabar/ harian/ koran) di Indonesia, menurut penulis, belumlah serempak. Ini bila dibandingkan secara kwantitas menurut frekwensi peristiwa dan komunitasnya. Sudah selaiknya bila pers melakukan seleksi pemuatan tulisan yang telah melalui proses riset atau oleh penulis yang kompeten di bidangnya. Deskripsi dan argumen atau pendapat yang dilontarkan tanpa disertai ‘bacaan’ [referensi, data/ faktual] akan lebih sesuai bila ditampilkan dalam kolom surat pembaca saja.

Selama periode observasi awal [2005-2006], penulis hanya mendapati beberapa tulisan yang tampak cukup deskriptif dan memberikan pemahaman dasar. Misalnya tentang tubuh dalam seni performa, dikatakan bahwa “…performance art lebih memberi kesempatan kepada tubuh untuk memainkan peranan yang maksimal di dalam relasi seni dan penikmat. Di situ kesenian berupaya memecahkan jarak yang terlanjur terbentuk ketika material memberi campur tangan yang besar terhadap interprestasi makna.” (Arcana, Putu Fajar: 2004). Sebelumnya sang penulis artikel tersebut menyatakan bahwa seni performa adalah ‘seni yang hidup di kepala masing-masing’ dan “... Biasanya berupa fragmen-fragmen yang dicuplik dari deretan peristiwa, tetapi kemudian diberi bingkai baru sehingga menjadi pintu bagi sebuah wacana besar yang ada di belakangnya. ... Ia menjadi lebih dekat dengan amatan-amatan terhadap realitas sosial, tetapi kemudian mengkritiknya secara ekstrem.”
Paparan lain berupa konklusi faktual –demikian menurut penulis--, menyebutkan bahwa “Performance art bukanlah seni “konvensional”, jelas wataknya bertolak belakang, … (atau melawan modernisme). Paling kurang, performance art dipandang dari jurusan seni rupa, teater, musik, tari adalah seni yang berusaha mendobrak kekhususan mediumnya sendiri, ia menjadi multimedia; karena hakikat medium (kemurnian medium) tak lebih adalah cerminan subyek yang utuh-stabil (yang dipercayai modernisme), sedangkan multimedia adalah eklektisme, cerminan subyek yang terpecah (yang dirindukan postmodernisme). Performance art (mencoba) meleburkan diri ke dunia, ke kehidupan, sebab seni yang “konvensional” lekas mengalami komodifikasi dalam arus kapitalisme (…). Ia juga menolak hirarki yang tinggi dan yang rendah (sebagaimana tercermin dalam pembedaan seni tinggi dan budaya massa), jadi (berupaya) melakukan demokratisasi.” (Dewanto, Nirwan: 2002).

Namun melewati 2007 hingga kini, periode minimnya wacana atas seni performa ini tampaknya akan segera berakhir. Semakin maraknya penyelenggaraan pesta seni performa yang berlangsung di berbagai kota secara ajeg dan berskala internasional semakin memicu ruang-ruang ketat diskursus. Berbagai penulisan di berbagai media berskala nasional yang ditulis oleh para penulis muda usia dan nota bene periset dan [sebagian besar] para kurator, antara lain: Farah Wardhani, Aminuddin TH Siregar, Agung Hujatnikajenong, Nurdian Ichsan, Heru Hikayat, DikDik Sayahdikumullah dll. menyinggung seni performa di tataran data sejarahnya, meski pun perolehan datanya masih perlu dikaji terus menerus. Namun hal ini merupakan langkah positif apresiasi. Keberadaan penulisan obyektif berikut data yang akurat akan sangat membantu keseimbangan berpengetahuan di negeri ini --yang masih timpang serta menimbulkan gelombang mentalitas di titik-titik minus sehingga mudah terjebak dalam konflik--.

[ Atieq S S Listyowati ]

Isyu Gender dalam Performance Art Indonesia

Persoalan subordinasi perempuan berakar pada konstruksi social budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Stereotip adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Kekerasan (violence) adalah suatu serangan baik secara fisik, maupun mental-pskologis dan moral terhadap seseorang, yang dihasilkan dari berbagai sumber, termasuk karena perbedaan gender. Ini bisa terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat. Kekerasan yang berbasis gender tersebut mulai dari kekerasan rumah tangga hingga kekerasan negara. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat yang nota bene masih berlangsung hingga di jaman kini. Tak semudah membalikkan telapak tangan dalam memberikan kesadaran kesetaraan gender dalam masyarakat yang sudah menjadi cengkeraman erat akar-akar tradisi di masa lalu.

Kegelisahan ini yang diusung oleh para seniman antara lain: Melati Suryodarmo (The Promise, 2002) yang mengungkapkan persoalan gender melalui sosok dewi dan keberadaan serta harapan gender perempuan (Sweet Dream Sweet, 2013), Prilla Tania mengumpamakan mempelai pria seperti sapu (the bride and the broom, 2006), Ferial Afiff menggambarkan posisi perempuan sebagai seorang ibu (Ironic #01, 2010) dan mempertanyakan fungsi dan peran gender melalui penampilan (Xculture, 2012), Tiarma Darma Sirait dengan karya performance desain fesyennya tentang persepsi atas kostum sebagai representasi tubuh manusia berdasar pada gender (Synthetic Love, 2006) serta saya sendiri yang mempersoalkan perbedaan gender dalam hubungan spiritual dan transcendental serta tubuh sebagai medium jiwa yang terjebak (Sublime, 2007).

Memang akar ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender adalah terjadinya perbedaan gender. Pandangan tentang ketidakadilan gender ini memang amat berbeda dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh paradigma yang dianut. Seperti pandangan fungsionalisme di dalam feminisme tentu tidak melihat ketidakadilan gender ini, melainkan melihatnya sebagai suatu realitas yang wajar. Hal ini masih sangat jamak terjadi dalam masyarakat Indonesia di mana pun. Sedangkan para pendukung paradigma konflik dalam feminisme tentu menganggap bahwa ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender merupakan realitas yang berakar di dalam dominasi kekuatan/kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dari kaum yang kuat, umumnya adalah laki-laki. Bahwa ideology patriarki merupakan sumber ideology penindasan yang berasal dari system hirarki maskulinistik dimana laki-laki berada di atas perempuan. Sayangnya, ideology patriarki tersebut masih mewarnai teori-teori dan pendekatan-pendekatan modernitas di dalam pembangunan yang pada akhirnya melahirkan kesenjangan sosial yang amat serius termasuk kesenjangan dan ketidakadilan gender. Inilah yang menjadi alasan mengapa dibangkitkannya isu kesetaraan gender di dalam pembangunan di Indonesia, termasuk yang disuarakan melalui dunia seni dan tampilan para performance artist-nya. Meski sayangnya hanya segelintir performance artist perempuan Indonesia yang sungguh-sungguh serius tekun dan aktif dalam genre gerakan anti-art ini.

[Atieq S S Listyowati]

copyright@AppreRoom. Watermark theme. Powered by Blogger.