Monday, September 14, 2009

A FACE OF NATIONS

Photography by : Budi ‘Bobo’ Irawan – MATANESIA
A Performance Art by : Atieq S S Listyowati
Venue: Ir.H. Juanda Airport - Surabaya, East Java - INDONESIA
Date: June 2009









"Nation; Nationalism; Nationalistic"


Description
When the world today seems to be in time fold, aware or not, human is in ambiguity. Precipitation of globalization process along with most sophisticated technology, satelite culture which enables everybody from various nations to be in many places and another country simultaneously, even only in cyberspace, has become a significant phenomenon.
When self existence concept becomes dynamics and idea mobilization bring self identification in the name of a nation towards existence of other nations, therefore there is no distance.
Linkage among nations presents new concepts even self transformation. When country is no longer consider as the main umbrella of its citizens, so "neighbor's grass looks greener" become a real allegory.
Nationality becomes an attribute only. Even when a nation moves expansively, in fact it only gives opportunity to individuals inside performatively objectify themselves to each other's prospects. Nationalism concept is being tested here.


Nation authenticity becomes 'quo vadis'. Even someone 'status-quo' is only an ethics. Even though with that nationalism, one's love towards his/her country (nationalistic) where he/she is one of its members only as emotional a priori. Nationality change is consider as profane matter.
But actually, unconsciously these nation, nationalism and nationalistic matters become more out of track when emerge universality awareness as praxis matter in life.
Or the description above is only falsification?


---


Ketika dunia kini bagai dalam lipatan waktu, disadari atau pun tidak, manusia berada dalam ambiguitas. Proses percepatan globalisasi dibarengi sofistikasi teknologi tercanggih, budaya satelit yang memungkinkan setiap orang berbagai bangsa dapat berada di berbagai tempat dan negara lain sekaligus, meski sebatas di ruang maya [cyberspace], telah menjadi fenomenon tersendiri.
Ketika konsep keberadaan diri menjadi dinamis dan mobilisasi idea membawa identifikasi diri atas nama sebuah bangsa menuju keberadaan bangsa-bangsa lain, maka distansi menjadi tiada.
Pertautan antar bangsa menghadirkan konsep-konsep baru bahkan transformasi diri. Ketika negara tak lagi dianggap sebagai payung utama warga negaranya, maka kehadiran 'rumput di halaman tetangga lebih hijau' menjadi sebuah alegori nyata.
Kebangsaan [nationality] pun menjadi sebuah atribut belaka. Bahkan ketika sebuah bangsa [nation] bergerak ekspansif, maka sesungguhnya ia hanya memberikan kesempatan bagi individu-individu di dalamnya secara performative mengobjektivasikan diri pada prospek masing-masing. Konsep nasionalisme menjadi teruji di sini.
Otentisitas kebangsaan menjadi 'quo-vadis'. Bahkan 'status-quo' seseorang hanya sebuah etika. Pun demikian dengan nasionalisme seseorang.
Kecintaan seseorang [nasionalistic] atas sebuah bangsa di mana ia sebagai salah satu anggotanya hanyalah a priori emosional. Perpindahan kebangsaan dianggap sebagai hal profan.


Namun sebetulnya, tanpa sadar urusan nation, nationalism dan nationalistic ini menjadi makin bergeser ketika muncul kesadaran universalitas sebagai hal praxis dalam kehidupan.
Ataukah deskripsi tersebut di atas adalah sebuah falsifikasi belaka?


[*]