Thursday, February 6, 2014

Le Métro

http://t.co/hVC5a8fSvI
http://www.youtube.com/watch?v=wuYlUXKwyIM&list=UU_z3g23vEs01lEhlHhOgy5A


in collaboration with:

Dani Iswardana/ visual artist
Tri Ganjar Wicaksono/ dalang
Pandu Hidayat/ sound project digital comp. & video art


Jumat, 22 November 2013
pk. 19.00
Auditorium IFI Surabaya
Jl. Ratna 14, komplek AJBS Surabaya


:::::::::::::::

Kesenian wayang sudah mendarah daging dalam budaya Indonesia dengan berbagai jenisnya : wayang kulit, golek, orang, klitik dan beber. Jenis yang disebut terakhir merupakan titik awal dari segala bentuk wayang yang ada di Nusantara (jaman Jayabaya). Inilah yang akan ditampilkan oleh sekelompok seniman yang berkolaborasi dalam kreasi terbaru mereka, Le Métro, dengan sentuhan modern.

Pertunjukan ini didahului oleh workshop pengenalan wayang beber pada siang harinya. Seusai pentas, diadakan sesi diskusi.

(gratis, untuk umum)
*
*
*

Situasi Umum:
Wayang beber sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional yang hampir punah dan kini menjadi 'anak tiri' dibanding wayang-wayang lainnya. Padahal wayang beber yang diperkirakan lahir di masa Jayabaya (abad ke-9) bahkan sebelum Kerajaan Majapahit (abad ke-12) adalah 'cikal-bakal' keberadaan wayang klithik, wayang kulit, wayang golek dan sebagainya di Indonesia (konon semenjak wayang beber diubah oleh Sunan Kalijaga menjadi wayang kulit untuk menyamarkan figur manusia dalam gambar-gambar wayang beber).
Wayang beber berkarakteristik berdasarkan kultur masing-masing pembuatnya dimana tumbuh dan berada. Tak hanya eksis di Pacitan, namun juga di Bali. Di Jawa, wayang beber identik dengan sebutan 'wayang panji' karena tokoh dan ceritanya diambil dari kisah cinta Panji Inu Kertapati dan istrinya Galuh Candra Kirana yang menyamar sebagai Panji Semirang dalam pencarian mereka masing-masing atas satu sama lainnya hingga lahir pula kisah Ande-ande Lumut, Keong Mas dan sebagainya. Sementara di Bali, semula wayang beber memuat cerita Panji, namun kemudian lebih dikenal dengan cerita Ramayana dan Mahabharata akibat pengaruh agama Hindu yang mendominasi masyarakat suku Bali.

Masalah:
Wayang beber masih belum diketahui masyarakat luas. Sementara bagi sekelompok seniman muda, wayang beber adalah medium menarik bagi karya seni masa kini. Program ini akan memberikan alternatif baru dan menggairahkan budaya apresiasi di berbagai genre budaya dan kesenian di Indonesia melalui eksplorasi data dan penelitian serta berbagai program budaya dan kesenian wayang beber.

Tujuan Utama:
- Memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas tentang keberadaan seni tradisi yang hampir punah bernama wayang beber.
- Memberikan nuansa baru pada pementasan wayang beber yang berkonsep 'kota' dan 'kekinian' yang merupakan masalah keseharian masyarakat.
- Memicu kreativitas berikutnya dan perkembangan wayang beber di dunia seni Indonesia hingga dunia sekaligus menyatukan visi dan misi para pemerhati wayang beber untuk bersama-sama saling mendukung.

Sasaran-sasaran:
- Apresiasi masyarakat luas terhadap keberadaan wayang beber sebagai salah satu artefak kuno para leluhur yang menjadi cikal bakal keberadaan berbagai bentuk wayang kemudian;
- Mengangkat kembali sekaligus menumbuhkembangkan minat masyarakat terhadap pengumpulan data serta perawatan artefak dan pengembangan wayang beber sebagai karya seni yang berangkat dari kultur tradisi;
- Menggalang komunitas kaum muda yang memiliki minat khusus dalam pengembangan wayang beber sebagai salah satu medium aspirasi dan inspirasi mereka.

HEMBESÖK (Home visits) - North Sweden

(me: as an independent observer)

Performance Art i Norr
PAiN


Tre utflyttade konstnärer från Norrbotten kommer hem och hälsar på med var sitt performance på varandras hemorter!

Eva Törmä (Pajala/Gbg)




Natalie Avigdor (Sävast/Jerusalem)



Heidi Edström [ingentinget] (Luleå/Sthlm)





12/10 Tornedalsteatern, Pajala kl. 19.30
14/10 SKAPA Hotell, Sävast kl. 19.00

15/10 Boden kl. 15.00
16/10 Galleri Syster, Luleå kl. 19.00

Med stöd av Norrbottens Läns Landsting, Pajala Kommun, Bodens Kommun och Luleå Kommun

I samarbete med ABF

Natalie Avigdor studerar på konstakademin Bezalel i Jerusalem. Hon har sina rötter i Sävast och har studerat på estet-linjen på Luleå Gymnasieskola. Under HEMBESÖK genomför Natalie verket ”Ashes” som handlar om renessance – om fågeln Fenix som reser sig från askan. Performancet har tidigare visats i Sarajevo samt i Ceasaria i Israel.

Eva Törmä är en utflyttad Pajalabo som numera är bosatt i Göteborg. Hon är utbildad performancekonstnär vid Sverigefinska Folkhögskolan i Haparanda och har många år bakom sig i teatern och konstens värld. Idag är Eva student vid Institutionen för Globala Studier i Göteborg, där Afrika är huvudämnet. Under HEMBESÖK visar hon "Forgive me" som tar avstamp i hennes studier. .

Heidi Edström alias [Ingentinget] är född och uppvuxen i Luleå men bor numera i Stockholm där hon verkar som frilansande konstnär. Heidi har de senaste tre åren har arbetat på en serie verk där inspirationen har sprungit ur begreppet ”knöl” och under HEMBESÖK visar hon verket "cumbersome dough" som ingår i serien.

Läs mer på painperformance.com

---






Three norrbottnian artists now residing in other places comes home and visits their hometowns with new performance works.

Eva Törmä (Pajala/Gbg)
Natalie Avigdor (Sävast/Jerusalem)
Heidi Edström [ingentinget] (Luleå/Sthlm)

12/10 Tornedalsteatern, Pajala 19.30
14/10 SKAPA Hotell, Sävast 19.00

15/10 Boden kl. 15.00 
16/10 Galleri Syster, Luleå 19.00

Supported by Norrbottens Läns Landsting, Pajala Kommun, Bodens Kommun and Luleå Kommun

In collaboration with ABF

Read more at painperformance.com

Sound of Lights


Saturday, November 9, 2013 at 5:00pm to 8:00pm
Performance i Glashuset! (Performance in the Glass House!)



PAiN presenterar performance i Glashuset på Rådhustorget i Umeå!
Vi återkommer till våren igen!
I samarbete med ABF och Umeå2014
_ _ _

PAiN presents performance in Glashuset at Rådhustorget in Umeå! 


9/10 Atieq SS Listyowati (Jakarta)

In collaboration with ABF and Umeå2014


Performance i Glashuset! (Performance in the Glass House!)

Photos by organisers: Johannes Blomqvist & Marcus Weinehall



 


Synopsis


 


Technology has always been an integral part of many artists to respond to it. Expression critical of the creation of more technology to the expansion of the interpretation. This interpretation is evolving to include the technology itself is framed in the decoding process. The light that travels into the digital data to a computer and then out in the form of a new voice through the transformation of electronic technology.


 

LIGHT is a plank in the history of time travel that is ready to sing the SOUND of the past existence of contemporary life to come. When documentation becomes an important role as artifacts of life, the history of archives and manuscript discovery in matters of days is a blue print of us who breathe in the middle of relativity to the lives of tomorrow and beyond.

 

None apart from the portraits of the past, so we move forward darted like light and sound that illuminates and fills every niche of silence in our hearts.

  

Wednesday, February 5, 2014

METRO


Pentas Kolaboratif Wayang Beber


Dani Iswardana Wibowo (visual artist),   
Tri Ganjar Wicaksono (dalang),   
Atieq SS Listyowati (performance artist) dan   
Pandu Hidayat (sound artist)

Rabu, 5 Juni 2013
Bentara Budaya Jakarta

          Métro
          Wayang Beber Kota
             
       Ketika berbagai negara di dunia selama beberapa dekade terakhir ini dibanjiri oleh gelombang pecinta produk komik dan kartun serta animasi lainnya, Indonesia pun tak ketinggalan turut ambil bagian dalam dunia yang mewabah ini. Orang dewasa hingga anak-anak mana pun pasti tak merasa asing sama sekali bila dihadapkan dengan komik serta karya animasi lainnya.  Komik menjadi sesuatu yang menarik karena merupakan produk dari masyarakat kota. Kehidupan kota menjadi kehidupan yang sangat nyata bagi mereka untuk menjadikannya sebagai dunia imajinasi yang tak berbatas dengan beribu bahkan jutaan macam kemungkinan yang bisa terjadi. Semuanya itu tercover dengan sangat menarik. Meski pun cerita-cerita yang dihadirkan merupakan perkawinan antara cara berpikir tradisional dan kekinian, misalnya dengan keberadaan tokoh-tokohnya yang memiliki kesaktian dan kemampuan yang sangat ajaib yang diilhami oleh keberadaan para pahlawan dalam cerita-cerita tradisi mana pun.                              
            Demikian pula halnya ketika kehadiran wayang beber kota menjadi ulasan terbaru di masa kini. Wayang beber yang kehadirannya diperkirakan lahir menurut Kitab Centini ketika Jayabaya, raja Kediri [Mamenang, abad ke-10] di Jawa Timur, menorehkan gambar para leluhur dan dewa-dewi yang ia lihat dari relief-relief di candi ke atas daun lontar dan kemudian menggulungnya serta membeberkannya kembali untuk diperlihatkan di istana, menjadi sebuah acuan baru di masa kini.
            Wayang beber tertua masih ditemukan di kawasan Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan, Jawa Timur. Keberadaan wayang beber inilah yang menggerakkan Dani Iswardana untuk mempelajarinya lebih lanjut. Berbagai upaya yang dilakukannya tak hanya mempelajari sejarah dan tehniknya dari institusi formal di ISI Solo namun juga langsung berguru kepada para ahlinya dalam menggurat wayang. Kisah terkenal dalam wayang beber adalah kisah nyata asmara Raden Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati, seorang putra dari kerajaan Jenggala dengan Galuh Candra Kirana, seorang putri dari kerajaan Kediri yang menyamar menjadi Raden Panji Semirang, yang dikenal dengan Wayang Panji.
            Wayang Beber disempurnakan oleh Raden Sungging Prabangkara di masa pemerintahan kerajaan Brawijaya terakhir. Wayang Beber menjadi semakin semarak di jaman kerajaan Majapahit. Kisah para dewa-dewi dan roh leluhur kemudian pun berganti dari kisah wayang purwa menjadi kisah cinta legendaris Wayang Panji, hingga menerbitkan bait-bait puisi yang menjadi tembang “Smaradhana”yang sangat terkenal hingga kini. Kisah ini pun bahkan memiliki benang merah dengan Serat Centhini mengenai pemahaman kehidupan dari semiotika: cinta. Dan kini, wayang beber berkembang dari cerita-cerita fiktif ke bentuk realisme baru yang lebih bercerita tentang hal-hal aktual dan faktual sebagaimana goresan kuas dan pikiran sang senimannya.
            Karya klasik dari Jawa ini masih menjadi daya tarik utama bagi para visual artist muda di Indonesia. Tak hanya lahir di Pacitan dan Bali, perkembangannya kini di beberapa daerah lain seperti Solo dan kota-kota besar lainnya macam Jakarta mulai merambah ke wilayah kontemporer  hingga post modernism. Ada banyak hal kekinian yang menjadi pola utama tema pelukisan wayang beber, yakni: KOTA.
            Keberadaan para senimannya seperti Dani Iswardana di masa kini, maka lingkup kehidupan kota menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Kehidupan kota dan ‘kekinian’ menjadi hal-hal yang menarik untuk dituangkan melalui goresan tinta dan kuasnya ke atas wayang beber.  Seperti halnya yang telah dilakukan oleh beberapa kaum muda saat ini dalam komunitas di beberapa kota.
            Dengan berbagai interpretasi yang tertuang dengan segala perspektif para senimannya, wayang beber pun menjadi wadah dan wahana dalam ekspresi setiap pemikiran para seniman yang nota bene mewakili publik dan kehidupan sosial serta kesehariannya sebagai manusia, individu sekaligus makhluk sosial dan bagian dari kehidupan politik di wilayah negara masing-masing dengan berbagai perkembangannya di berbagai aspek di setiap jamannya.
            Métro  adalah hasil interpretasi para seniman yang  terdiri dari seniman pembuat wayang beber Dani Iswardana Wibowo (visual artist), Tri Ganjar Wicaksono (dalang), Atieq SS Listyowati (performance artist) dan Pandu Hidayat (sound artist) terhadap kehidupan kota di masing-masing kota tempat tinggal kediamannya yakni: Solo, Pacitan, Jakarta dan Yogyakarta.
            Apakah telah terjadi pergeseran nilai dan pemahaman budaya baru di masing-masing kota tersebut? Setiap kota memiliki kekhasannya tersendiri, unik serta berkarakter. Semuanya lahir dari runtutan masuknya info, pengetahuan dan sebagainya. Sebagai negara berkembang, banyak hal kemajuan dunia telah menimbulkan ‘culture shock’ yang tidak sejalan dengan belum meratanya sistem pendidikan dan pemerintahan yang layak bagi hajat hidup warga dan masyarakatnya.
            Seperti apakah kota-kota domisili para seniman tersebut layaknya sebagai sebuah  Métro”? Bagaimanakah interprestasi mereka terhadap kota masing-masing? Samakah sudut pandang mereka? Samakah perspektif mereka dengan warga kota-kota besar di dunia lainnya?
            Métro” adalah persembahan AppreRoom dalam bentuk karya seni kolaboratif. Persembahan ini menghidupkan interaksi antara audiens dan para senimannya.


    
  



Tri Ganjar Witjaksono - Atieq SS Listyowati - Dani Iswardana - Pandu Hidayat

Thursday, February 23, 2012

SONO LUMIERE

a sonic performance art lab

Performa musik digital elektronik dipadu dengan seni performa/ performance art
Electronic digital musical performance combined with performance art

 

Pandu Hidayat /sound artist
Atieq SS Listyowati /performance artist
http://sslistyowati.blogspot.com/ | http://appreroom-artspace.blogspot.com/





[fotografi: Igna Hadi]



bersama/with:
Angga Bambung Hideung
Agung Jek
Aliansyah
Ade Beton
Arman Jamparing

Background:

Berangkat dari gagasan avant-garde yang lahir di Paris di tahun 1800an hingga melahirkan genre anti-art berikut tampilan performa Yves Saint Klein dalam karya seni rupanya berupa sapuan tinta biru ke atas kanvas lebar terhampar di atas lantai dengan menggunakan tubuh-tubuh nudis para model sebagai media kuasnya, selain karya fotonya bersama kelompok realisme baru di Paris sebagai respons terhadap kecanggihan teknologi NASA dimana manusia berhasil mencapai bulan. Kini, gerakan berjuluk performance art (seni performa) ini semakin melahirkan beberapa bentuk dalam upaya mengkritisi peradaban manusia terkini khususnya perkembangan teknologi berikut seretan budayanya. Performa berjudul: Electric Dress di tahun 1957, karya Atsuko Tanaka (1935-2005) yang mengenakan kimono dibalut dengan serangkaian kumparan dan sulur kabel berikut puluhan lampu menyala warna-warni ke sekujur tubuh serta busana tradisionalnya, dan menyinari ruang Takamatsu City Museum of Art ini pun merupakan respons terhadap perkembangan teknologi bagi peradaban manusia saat itu.
Atsuko adalah salah satu seniwati yang tergabung dalam kelompok Gutai (pionir performance art/ seni performa/action art di Jepang semenjak 1954 oleh Jiro Yoshihara, hasil pengaruh aliran dada dan surealisme di garis avant-garde). Perkembangannya sejalan dengan sejarah kelahiran performance art di Barat [Paris] yang merupakan pengaruh Futurisme hingga masa Fluxus. Paris menjadi sebuah kiblat bagi berbagai pergerakan budaya.
Hingga kini teknologi selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan oleh banyak artis untuk meresponsnya. Ungkapan kritis terhadap penciptaan teknologi lebih ke arah perluasan interpretasi. Interpretasi ini berkembang hingga menyertakan teknologi itu sendiri dalam proses decoding berbingkai. Cahaya yang bergerak masuk ke dalam data komputer dan digital hingga kemudian keluar dalam bentuk suara baru melalui transformasi teknologi elektronik. Inilah yang akan ditampilkan, karya eksplorasi seniman sound artist [Pandu Hidayat] bersama performance artist [Atieq SS Listyowati]. Tampilan ini membangkitkan kembali semangat performa karya-karya happening para seniman yang turut mematri sejarah gerakan anti-art dunia melalui serangkaian eksperimen elektronik. Karya-karya ini akan menjadi fusi atau pun material decoding yang menarik ketika ditransformasikan baik dari cahaya menjadi suara, atau bahkan sebaliknya. Yang pasti hasilnya adalah sebuah ‘party’, pembebasan diri, perayaan sukacita! A lot of fun…!!!

Permainan elektronik itu sendiri sudah sangat menarik karena ia adalah simbol awal pergerakan progresif budaya manusia melalui ruang kimia-fisika. Selalu menyertakan keterpanaan tersendiri, baik melalui terpaan kasat mata hingga ruang-batin.
Keterpanaan ini pula lah yang melahirkan berbagai hal budaya baru yang membawa pro-kontra sisi baik serta sisi buruknya dalam peradaban manusia itu sendiri pada akhirnya.
Proses decoding itu sendiri pun menjadi menarik sebagai konsep.
Karena manusia selalu tidak pernah lepas dari upaya 'menerjemahkan' berbagai hal di gerak kehidupannya.
Selain memahami dirinya sendiri, juga upaya memahami peradaban manusia dan lainnya di dunia serta sekitarnya, sekaligus menikmati prosesnya.

Upaya 'menerjemahkan' berbagai hal di gerak kehidupan kita kini berarti upaya mengetahui sejarah diri. Artefak kehidupan sekecil apa pun menjadi penuh arti guna memaknai hidup kita.
Sejarah adalah titian CAHAYA dalam perjalanan waktu yang siap melantunkan SUARA keberadaan masa lalu bagi kehidupan masa kini hingga yang akan datang. Ketika dokumentasi menjadi peranan penting sebagai artefak-artefak kehidupan, maka arsip dan temuan manuscript riwayat hal ikhwal di hari ini adalah blue print diri kita yang tengah bernafas dalam kenisbian bagi kehidupan hari esok dan seterusnya.
Tak ada satu pun yang lepas dari potret-potret masa lalu, agar kita bergerak maju melesat bagai CAHAYA dan SUARA yang menyinari dan mengisi kesenyapan di tiap relung kalbu kita.

Departing from the idea of avant-garde was born in Paris in the 1800s to give birth to the genre of the following anti-art performance display Yves Saint Klein in the artwork seems to be a wash of blue ink on the canvas width lying on the floor with the bodies of nude models as brush media, in addition to the work of a group photograph with the new realism in Paris in response to NASA's technological sophistication where humans made it to the moon. Now, the movement was nicknamed performance art is increasingly bear some form of human civilization in order to criticize the latest technological developments, especially following the shuffle of their culture. Performance titled: Electric Dress in 1957, the work of Atsuko Tanaka (1935-2005) who wore a kimono wrapped with a series of coils and tendrils of the following cable dozens of colorful lights on the whole body as well as traditional clothing, and illuminate the space Takamatsu City Museum of Art this was a response to technological developments for human civilization at that time.
Atsuko is one artist who joined the Gutai group (pioneer of performance art / action art in Japan since 1954 by Jiro Yoshihara, the influence of dada and surrealism in the line of avant-garde). Development in line with a history of performance art in the West [Paris] which is the influence of Futurism to Fluxus. Paris became a mecca for cultural movements.
Until now, technology has always been an integral part of many artists to respond to it. Expression critical of the creation of more technology to the expansion of the interpretation. This interpretation is evolving to include the technology itself is framed in the decoding process. The light that travels into the digital data to a computer and then out in the form of a new voice through the transformation of electronic technology. This is what is displayed, the explorative work of sound artist [Pandu Hidayat] with performance artist [Atieq SS Listyowati]. This view is to re-energize the performance of the works of the artists who participated happening brazing history of anti-art movement of the world through a series of electronic experiments. These works will be a fusion or decoding an attractive material when either of the light is transformed into sound, or even vice versa. To be sure the result is a 'party', self-liberation, freedom, the celebration of joy! A lot of fun ...!

Electronic game itself is very interesting because it is a symbol of the beginning of the progressive movement of human cultures through the chemical-physical space. Excitement always include its own, either through exposure to the invisible inner space.
Excitement is also the one who gave birth to a new cultural things that bring the pros and cons of both sides and bad sides of human civilization itself in the end.
Decoding process itself becomes interesting as a concept.
Since man always never be separated from efforts to 'translate' things in motion his life.
In addition to his own understanding, as well as efforts to understand human civilization and the rest of the world and its surroundings, while enjoying the process.
Attempts to 'translate' the motion of things in our lives now means to learn about the history of the self. Artifacts of life no matter how small to be meaningful in order to make sense of our lives.
LIGHT is a plank in the history of time travel that is ready to sing the Sound of the past existence of contemporary life to come. When documentation becomes an important role as artifacts of life, the history of archives and manuscript discovery in matters of days is a blue print of us who breathe in the middle of relativity to the lives of tomorrow and beyond.
None apart from the portraits of the past, so we move forward darted like light and sound that illuminates and fills every niche of silence in our hearts.

Tim Produksi/Team Work

Project Manager: Hilda Winar
Public Relation: Shanty Zahra
Costume Design: Zahra Fatyadevi Chyntiyanputri


*


Port Folio:

PANDU HIDAYAT born in Buitenzor 1984. Studied at Anima Musika Indonesia (2002 - unfinished). Study Ethnomusicology at Indonesian Institute of the Art Yogyakarta (2005 - 2010). He still being active in art music and performance art, also active to participant some of composition workshop and technical class from local artist, asian and western artist. He had done some of his composition performances, such as :“Tangan-Tangan”, “Belajar Berhitung” (mix ensemble, 2004 - 2005) | “No House Music”, (mix ensemble, 2006) | “Fase-A” (mix ensemble, 2007) | “Fiction” (electroacoustic, 2008) | “Cermin Berkarat No. 1 - 2 & Noise Ver” (electroacoustic, 2009) | “Rasalama”, “Texture”, “Imperfect Harmonic [Phenomenons I & II]”, “Isionn Parentheses” (electroacoustic, 2010) | “In Miniature”, “Manis Ke-dua” (electroacoustic, 2011). His works, focus on Gamelan and electronic music or electroacoustic for experimental media. He have another side project, that is an individual project which called CONTROL-Z. Besides, he also establish research on many issues of urban culture and had an interest in new media art. >>>
www.panduhidayat.co.cc/ | http://kontroljet.blogspot.com/

ATIEQ SS LISTYOWATI [born in Surabaya, 10 September 1964] is an art lover and practitioners with some experience in journalism, especially in the art space. She managed and organized several art events as well as artist and founder of AppreRoom [since 1998] and to design [the organizer] art programs. In 2005-2006 she got a grant from the Arts Network Asia [ANA] to observe the history of performance art and its management. During the time, she designed and organised also as participants of some events in Indonesia and abroad as understanding of performance art as a genre. Then, she is interested in performance art that seemed like the soul’s way of each artist in understanding his/her life. Performance art as well as migratory birds that fly away all the time, which could not be stopped and make some creations, collaboration & assimilation in every place, including new forms and other perspectives. She very concerned with the art space as a medium to explore the never-ending in any era as long as human civilization still exists, because art brings the history of human existence.


SONO LUMIERE a sonic performance art lab