Wednesday, February 5, 2014

METRO


Pentas Kolaboratif Wayang Beber


Dani Iswardana Wibowo (visual artist),   
Tri Ganjar Wicaksono (dalang),   
Atieq SS Listyowati (performance artist) dan   
Pandu Hidayat (sound artist)

Rabu, 5 Juni 2013
Bentara Budaya Jakarta

          Métro
          Wayang Beber Kota
             
       Ketika berbagai negara di dunia selama beberapa dekade terakhir ini dibanjiri oleh gelombang pecinta produk komik dan kartun serta animasi lainnya, Indonesia pun tak ketinggalan turut ambil bagian dalam dunia yang mewabah ini. Orang dewasa hingga anak-anak mana pun pasti tak merasa asing sama sekali bila dihadapkan dengan komik serta karya animasi lainnya.  Komik menjadi sesuatu yang menarik karena merupakan produk dari masyarakat kota. Kehidupan kota menjadi kehidupan yang sangat nyata bagi mereka untuk menjadikannya sebagai dunia imajinasi yang tak berbatas dengan beribu bahkan jutaan macam kemungkinan yang bisa terjadi. Semuanya itu tercover dengan sangat menarik. Meski pun cerita-cerita yang dihadirkan merupakan perkawinan antara cara berpikir tradisional dan kekinian, misalnya dengan keberadaan tokoh-tokohnya yang memiliki kesaktian dan kemampuan yang sangat ajaib yang diilhami oleh keberadaan para pahlawan dalam cerita-cerita tradisi mana pun.                              
            Demikian pula halnya ketika kehadiran wayang beber kota menjadi ulasan terbaru di masa kini. Wayang beber yang kehadirannya diperkirakan lahir menurut Kitab Centini ketika Jayabaya, raja Kediri [Mamenang, abad ke-10] di Jawa Timur, menorehkan gambar para leluhur dan dewa-dewi yang ia lihat dari relief-relief di candi ke atas daun lontar dan kemudian menggulungnya serta membeberkannya kembali untuk diperlihatkan di istana, menjadi sebuah acuan baru di masa kini.
            Wayang beber tertua masih ditemukan di kawasan Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan, Jawa Timur. Keberadaan wayang beber inilah yang menggerakkan Dani Iswardana untuk mempelajarinya lebih lanjut. Berbagai upaya yang dilakukannya tak hanya mempelajari sejarah dan tehniknya dari institusi formal di ISI Solo namun juga langsung berguru kepada para ahlinya dalam menggurat wayang. Kisah terkenal dalam wayang beber adalah kisah nyata asmara Raden Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati, seorang putra dari kerajaan Jenggala dengan Galuh Candra Kirana, seorang putri dari kerajaan Kediri yang menyamar menjadi Raden Panji Semirang, yang dikenal dengan Wayang Panji.
            Wayang Beber disempurnakan oleh Raden Sungging Prabangkara di masa pemerintahan kerajaan Brawijaya terakhir. Wayang Beber menjadi semakin semarak di jaman kerajaan Majapahit. Kisah para dewa-dewi dan roh leluhur kemudian pun berganti dari kisah wayang purwa menjadi kisah cinta legendaris Wayang Panji, hingga menerbitkan bait-bait puisi yang menjadi tembang “Smaradhana”yang sangat terkenal hingga kini. Kisah ini pun bahkan memiliki benang merah dengan Serat Centhini mengenai pemahaman kehidupan dari semiotika: cinta. Dan kini, wayang beber berkembang dari cerita-cerita fiktif ke bentuk realisme baru yang lebih bercerita tentang hal-hal aktual dan faktual sebagaimana goresan kuas dan pikiran sang senimannya.
            Karya klasik dari Jawa ini masih menjadi daya tarik utama bagi para visual artist muda di Indonesia. Tak hanya lahir di Pacitan dan Bali, perkembangannya kini di beberapa daerah lain seperti Solo dan kota-kota besar lainnya macam Jakarta mulai merambah ke wilayah kontemporer  hingga post modernism. Ada banyak hal kekinian yang menjadi pola utama tema pelukisan wayang beber, yakni: KOTA.
            Keberadaan para senimannya seperti Dani Iswardana di masa kini, maka lingkup kehidupan kota menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Kehidupan kota dan ‘kekinian’ menjadi hal-hal yang menarik untuk dituangkan melalui goresan tinta dan kuasnya ke atas wayang beber.  Seperti halnya yang telah dilakukan oleh beberapa kaum muda saat ini dalam komunitas di beberapa kota.
            Dengan berbagai interpretasi yang tertuang dengan segala perspektif para senimannya, wayang beber pun menjadi wadah dan wahana dalam ekspresi setiap pemikiran para seniman yang nota bene mewakili publik dan kehidupan sosial serta kesehariannya sebagai manusia, individu sekaligus makhluk sosial dan bagian dari kehidupan politik di wilayah negara masing-masing dengan berbagai perkembangannya di berbagai aspek di setiap jamannya.
            Métro  adalah hasil interpretasi para seniman yang  terdiri dari seniman pembuat wayang beber Dani Iswardana Wibowo (visual artist), Tri Ganjar Wicaksono (dalang), Atieq SS Listyowati (performance artist) dan Pandu Hidayat (sound artist) terhadap kehidupan kota di masing-masing kota tempat tinggal kediamannya yakni: Solo, Pacitan, Jakarta dan Yogyakarta.
            Apakah telah terjadi pergeseran nilai dan pemahaman budaya baru di masing-masing kota tersebut? Setiap kota memiliki kekhasannya tersendiri, unik serta berkarakter. Semuanya lahir dari runtutan masuknya info, pengetahuan dan sebagainya. Sebagai negara berkembang, banyak hal kemajuan dunia telah menimbulkan ‘culture shock’ yang tidak sejalan dengan belum meratanya sistem pendidikan dan pemerintahan yang layak bagi hajat hidup warga dan masyarakatnya.
            Seperti apakah kota-kota domisili para seniman tersebut layaknya sebagai sebuah  Métro”? Bagaimanakah interprestasi mereka terhadap kota masing-masing? Samakah sudut pandang mereka? Samakah perspektif mereka dengan warga kota-kota besar di dunia lainnya?
            Métro” adalah persembahan AppreRoom dalam bentuk karya seni kolaboratif. Persembahan ini menghidupkan interaksi antara audiens dan para senimannya.


    
  



Tri Ganjar Witjaksono - Atieq SS Listyowati - Dani Iswardana - Pandu Hidayat